"Hari ini masjid ramai, Pak?" tanya Bu Bedah kepada lakinya yang tahun ini umurnya mencapai enam puluh tiga tahun.
Pak Bedah membuka kancing baju atasnya. Dia duduk mengaso di kursi rotan. Dikibas-kibaskannya peci hitam sekadar mengundang angin mendinginkan gerah.
"Hanya ada aku, Asmir dan dua anak kecil. Di belakang, ada Ibu Zainab. Sudah itu tak ada lagi," keluh lelaki itu.Â
"Mungkin karena shalat lohor, Pak. Kan kalau maghrib dan isya, ramai!" Bu Bedah berdiri karena sudah selesai menampih beras.
"Ya, maghrib dan isya, jadilah. Ada lebih sepuluh jamaah. Tapi kalau lohor, ashar, apalagi shubuh, aku terkadang sampai takut kalau tak ada jamaah yang datang. Maka itu, meskipun bengekku sedang kambuh, aku tetap berusaha hadir di masjid sebelum waktu shalat tiba. Coba, kalau tak ada yang azan di situ? Coba kalau tak ada yang shalat berjamaah? Apa masjid itu layak disebut Rumah Allah? Rumah tuhan, mungkin iya. Agama apa saja bisa mengakui kalau masjid itu rumah tuhan mereka. Kan tak ada yang azan dan shalat berjamaah di situ."
"Husss! Bapak ini ngomong apa! Kan masih ada yang azan dan shalat berjamaah di situ!"
"Sampai kapan? Kalau Asmir ada uzur, bagaimana?"
"Ya, Bapak bisa shalat sendirian, kan? Yang penting ada azan!"
Pak Bedah berjalan mengikut istrinya ke dapur. Lalu, katanya, "Lha, kalau aku uzur, bagaimana?"
Istrinya diam.
"Kalau aku mati? Apakah masjid itu harus ikut mati dan menjadi rumah tuhan?"