Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Demit] Sang Kailani

19 Maret 2019   11:08 Diperbarui: 19 Maret 2019   11:21 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya rumah Kailani tak pantas disebut rumah. Bentuknya persegi empat, luas duapuluh meter persegi itu, lebih pantas disebut gubuk. Lantainya terbuat dari tanah liat. Dindingnya daun tepas. 

Atapnya rumbia. Bila angin kencang berhembus, di beberapa bagian atap rumahnya akan mengertap-ngertap seperi sayap anak merpati belajar terbang. Begitu hujan turun deras, air hujan merembes di sela-sela atap rumbia dan menggenangi nyaris setengah bagian gubuk itu. Bahkan bila Sungai Kedukan pasang, airnya bisa menjangkau mata kaki Kailani yang duduk bersantai di atas bangku.

Aneh,, banyak orang yang selalu membutuhkan bantuan lelaki yang senang mengenakan pakaian hitam-hitam itu. Banyak orang salut dan hormat kepadanya. Bahkan sebagian mengatakan dia itu seorang pilihan Allah. Nabi barangkali? Ah, tak pantas! Orang hanya mengada-ada.

Seperti pagi ini, beberapa orang, termasuk aku, sudah menjambangi gubuk Kailani. Kami sabar menunggu di luar, menunggu dia bersalin pakaian dan mempersilahkan kami masuk. 

Sungguh, aku sama sekali tak ingin diajak turut serta. Bagiku pekerjaan mendatangi rumah Kailani adalah pangkal berbuat musyrik. Untuk apa pelajaran agama yang kuselami selama tiga tahun di Madrasah Aliyah? Untuk apa setiap hari Ustadz Latief dan putrinya, Saifah, mengajariku supaya bisa memahami dan menjauhi perbuatan syirik?

Orang-orang yang bersamaku bukan buta sama sekali tentang larangan berbuat musyrik. Lelaki tua berpeci, dengan urat-urat di wajah bertonjolan itu, adalah seorang imam masjid dan sering berkhutbah menjelang shalat Jum'at. Perempuan yang mengenakan kerudung putih berenda-renda itu, ialah ibuku. Keningnya, tepat di bagian tengah, sudah menebal dan hitam, karena sering bersujud kepada Allah. Mengajinya sangat fasih.

Nah, lelaki yang berdiri di sebelahku, adalah kuncen Kailani. Rupanya bukan kuburan saja yang memiliki kuncen. Seorang Kailani juga memilikinya demi mengatur kedatangan para tamu, atau menurutku lebih pas sebagai tenaga pemasarah (istilah kerennya marketing). Sebab setahuku si kuncen-lah yang berbusa mulutnya, berbual-bual di setiap ada sempat, mengatakan tentang kedigjaayaan Kailani.

"Dia bukan dukun," kata si kuncen kepadaku ketika kami melewati jalan setapak menuju rumah Kailani.

"Jadi apa? Paranormal?" tanyaku.

"Bukan juga! Dia adalah nabi!"

Aku tersentak. "Nabi? Bukankah nabi terakhir adalah Muhammad? Apakah kalian...." Aku memutus omongan. Aku takut dia emosi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun