Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Sukiat

19 Maret 2019   08:34 Diperbarui: 19 Maret 2019   08:40 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Elena, Elena! Apakah kau masih di situ?" Suara itu nyaring. Menembus ke segala sudut. Melewati dinding-dinding gubuk kumuh yang berbatas bekas kardus atau triplek tipis.

Istriku menggerutu. Seminggu ini tidurnya terganggu. Dulu, sebelum Sukiat menikah, paling dia hanya mendengar lenguh lelaki itu di malam buta. Hanya sekejap. Beberapa detik. Kemudian tersisa dengkur halusnya, menambahi dengkur orang-orang yang lelap di kampung kumuh ini.

Setelah Sukiat menikah dengan Elena, ada-ada saja yang terdengar di gubuk sebelah. Seperti lenguhan yang berbilang menit atau sampai pernah setengah jam. 

Istriku menyikutku dengan cemberut. Matanya melotot seperti ingin menghakimi, kenapa aku selalu melenguh seperti sapi yang hendak buang hajat saja. Begitu cepat. Bles-bles. Gubuk sebelah malah sampai setengah jam.

Di malam lain, suara cempereng kedua insan dimabuk madu itu, bercerita tentang sate kambing, susu kambing ettawa, telur ayam kampung. Fuhh, sementara di rumah kami hanya ada nasi putih yang sekeras mie mentah, sambal berasa garam dan kecap yang terlalu encer. Istriku seolah menghakimi juga dengan gerutuan, kenapa aku tak bisa menyemarakkan tudung saji yang bolong-bolong itu dengan sate kambing, susu kambing ettawa, telur ayam kampung.

"Payah!" geram istriku sambil menghadiahi punggung.

Inilah yang kemudian membuatku hanya bisa mengulas dada. Muasal istriku uringan-uringan itu bukanlah dari sosok Sukiat, melainkan dari lakinya sendiri; aku. Akulah yang sering mewejangi Sukiat, ketika kami menyatroni tong sampah demi tong sampah di bawah langit kota ini. Sambil mengorek-ngorek mencari barang berupa plastik, besi, aluminium dan segala yang bisa disetor ke depot barang bekas, aku mulai mengusik Sukiat.

"Kalau sudah menikah itu enak lho, Yat!" kataku. Biasanya Sukiat cengengesan sembari tak lupa menggaruk-garuk tangan. Bila dikaitkan-kaitkan dengan kata menikah, dia selalu salah-tingkah. Umurnya hampir kepala empat. Tapi jangankan menikah, berpacaran pun dia belum pernah. Sementara setiap orang di kampung kumuh ini, yang usianya melampaui dua puluh tahun, rata-rata sudah menikah.

"Nantilah, Mas! Belum ada jodoh!"

"Lho, belum ada jodoh gimana? Si Yati itu kan selalu perhatian ke kamu, Yat! Aku tahu itu. Istriku juga sering cerita, Yati tak sengaja sekali-dua menyinggung nama kamu. Sudahlah, dia perempuan baik-baik. Meskipun istriku dan dia tak ada hubungan darah,  mereka sudah akrab hampir lima tahunan. Coba, siapa lagi yang kau cari?"

"Nanti aku coba cari yang lain!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun