Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Peringatan

14 Maret 2019   12:44 Diperbarui: 14 Maret 2019   14:34 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secangkir coklat hangat, koran pagi dan setumpuk roti, harus segera ditinggalkan. Hari ini adalah hari mengesankan sekaligus mencemaskan. Siapa yang hatinya tak karuan bila menghadapi hari pertama kerja? Sepertinya tak ada! 

Contohnya aku, telah membayangkan yang aneh-aneh sejak semalam. Bagaimana duduk diam di meja kerja sambil menunggu perintah atasan---hehehe anak baru memang culun, mesti dilecut dulu baru bergerak. Bagaimana tiba-tiba diplonco senior. Ingat Afif, kau dalam masa percobaan. 

Bangun harus sedari subuh, harus keluar dari rumah pukul enam lebih tiga puluh menit. Lewat dari itu, siap-siap berkeringat di dalam bis kota yang menjalar, berzigzag di kemacetan panjang serupa ular. Terlambat tiba di kantor, seperti yang dikatakan kepala personalia, akan mendapat peringatan langsung, bahkan bila bernasib jelek langsung diberhentikan. Kejam sekali!

Setelah membetulkan dasi yang mengulah terus, aku menyetop bis kota sarat muatan. Kenek gila masih mengatakan; kosong-kosong! Padahal di antara penumpang yang berdiri dan duduk, hanya ada celah yang bisa dilalui angin. Brengsek! 

Sepuluh menit berlalu, tiba-tiba ban bis kota meletus. Aku tercekat. Keringat mengucur deras membasahi dahi. Pasti aku terlambat masuk kerja. Pasti langsung dapat peringatan. Atau diberhentikan. Masih terngiang ucapan tajam kepala personalia, "Masih banyak orang yang mau bekerja di sini kalau kalian diberhentikan!"

Aku ikut tumpahan orang-orang dari bis kota. Semua ling-lung. Sebagian berhasil menaiki bis kota yang lain, atau menyetop becak, atau ojek. Sementara aku masih berdiri kesal. Seorang penumpang bis kota yang tadi berdiri di sebelahku, mendadak terduduk di trotoar sambil memegangi kakinya. Wajahnya pucat. Penumpang yang lain cuek saja. Di benak mereka hanya terbetik hasrat, bisa sampai di tempat kerja masing-masing tepat waktu.

Seperti itu pula aku. Tapi sanggupkah aku membiarkan dia, perempuan yang hampir seusia ibuku, kesakitan di tengah orang-orang yang kehilangan welasasih? Tidak mungkin! Hatiku trenyuh, meski bayang-bayang mendapat surat peringatan dari kepala personalia semakin memenuhi benak ini. Ibuku pernah mengatakan bahwa menolong orang kesusahan itu sangat penting. Lebih penting dari tugas-tugas kita yang sudah menunggu dikerjakan. Karena Tuhan memiliki rencana. Orang yang suka membantu mereka yang kesusahan, pasti memperoleh berkah tiada terkira. Betulkah begitu? Ah, aku seratus persen yakin. Sejak kecil ibuku telah menanamkan sifat suka menolong kepadaku.

"Kenapa, Bu? Sakit?" tanyaku.

Ibu itu meringis. "Iya, sakit rematik ibu kumat." Aku kasihan melihat keringat mengucur dari kening si ibu.

"Ibu darimana dan mau ke mana?" lanjutku.

"Saya dari kampung, hendak ke rumah anak saya," jawabnya sambil mengatakan sebuah alamat yang tak asing bagiku. Hmm, tak apa-apalah membantu ibu ini. Kasihan dia. Biarlah kuantar ke alamat anaknya menumpang taksi saja. Kalau masih naik bis kota, tentu akan menyusahkan baginya. Apalagi kami harus berdiri karena penumpang sudah tumplek-blek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun