Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pohon Kedamaian

11 Maret 2019   21:44 Diperbarui: 11 Maret 2019   21:46 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih kuingat siang itu, ketika udara suam-suam kuku, Kek Saf memberikanku sebuah bibit pohon. Bentuknya mungil, mirip pohon beringin. Siapa saja yang memandangnya, pasti akan tertarik. Hati gersang bersemi melihatnya. Hati panas menjadi dingin. Pohon yang aneh! Aku amat senang ketika Kek Saf menghibahkan pohon itu, dan menyuruhku menanamnya di belakang rumah. Persis di perbatasan antara kolam dan sungai yang selalu kering, sehingga tak sanggup memberi kehidupan terhadap sawah-ladang di seberangnya.

"Ini namanya pohon kedamaian," kata Kek Saf dengan hati-hati. "Dia sanggup menyejukkan hati setiap orang. Apabila orang tak menyayanginya, maka siap-siaplah, pohon itu akan mati, dan kembali menghibahkan kegersangan alam, sekaligus kekeringan hati bagi orang-orang di sekitarnya."

Antara percaya dan tidak, aku menjawab, "Bagus sekali, Kek. Pohon ini akan menciptakan kedamaian di daerah ini. Sebab di sini selalu timbul pertengkaran. Sengketa. Orang-orangnya memiliki rasa iba yang  minim. Sehingga orang kaya semakin kaya, orang miskin terpuruk termiskin terkaing-kaing."

"Dengan kau menanam pohon itu, otomatis kau telah mendarmabaktikan tenaga demi kemaslahatan umat. Demi kedamaian, sehingga kau memperoleh pahala yang melimpahruah." Kek Saf pun pergi dibalut senyum khasnya.

Dibantu Palito, aku menanam pohon itu di belakang rumah. Sengaja di sekelilingnya dipagar, agar ayam dan hewan ternak lainnya tak memamah daunnya yang menggoda.

Tunggu punya tunggu, pohon itu tumbuh pesat. Batangnya kokoh. Akarnya menghunjam jauh. Menjalar ke mana-mana. Sementara daunnya rimbun memayungi kolam. Sungai yang dulu mengering, seketika basah. Ada mata air menjalar dari sela-sela akar pohon itu.

Wah, cukup pesat perkembangannya! Padahal baru setengah tahun Kek Saf memberikan pohon itu kepadaku. Sekarang dia begitu gagahnya. Orang-orang menjadi sering berkumpul di bawahnya. Kata mereka, di situ sejuk. Membuat pikiran adem-ayem. Tak jarang, orang yang lelah bekerja di sawah-ladang, sengaja mengaso di situ sambil menikmati kudapan siang yang sederhana. 

Keterkenalan pohon itu sampai menjalar ke daerah tetangga. Orang-orang menjadi tanpa sebab mengunjungi pohon yang menurutku sama saja dengan pohon lain. Dia hanya memiliki batang kokoh, akar menghunjam, dan dahan, dan daun yang melingkar-lingkar merimbun. Tapi tak dapat dipungkiri, orang kerap mendapat ilham di bawahnya. Bahkan pernah suatu hari, sepasang suami-istri yang hampir bercerai, datang ke bawah pohon kedamaian itu. Mereka ingin membuktikan apakah dia benar-benar membuat damai. Anehnya, sepasang suami-istri itu akhirnya berbaikan. Mereka urung bercerai. Mereka berjanji menata mahligai rumahtangga yang hampir retak, lalu mengasuh anak-anak mereka hingga besar.

Satu hal yang tak membuatku tenang. Hampir kebanyakan orang yang datang menghadap pohon itu, tujuannya mencari wangsit. Menurut mereka, di situ ada begu-begunya, ada penunggu yang lumayan sakti. Tak jarang di antara mereka malahan membawa dupa. Mereka membakar kemenyan di bawahnya, lalu melaksanakan ritual sembahyang.

Gila! Apakah itu tak menimbulkan musyrik? Meskipun pohon itu bernama kedamaian, namun belum tentu dia dapat memberikannya secara instan. Apalagi sampai membantu manusia meluluskan niat-niatnya. Dia hanya pohon yang menyejukkan perasaan. Manakala hati orang merasa damai di dekatnya, pasti itu hanya motivasi saja. Toh, setiap perbuatan orang itu, selalu berlandaskan motivasi. Tanpa motivasi, tentulah nonsens. Ibaratnya meminum obat. Apabila kita tak percaya sebuah obat sanggup menyembuhkan (maksudnya sebagai perantara saja) penyakit kita, maka jangan harap penyakit itu sembuh. Begitu pula sebaliknya.

Karena tak ingin terhanyut atas aura mistis sang pohon, aku menasihati orang-orang supaya menyikapinya seadanya saja. Jangan sampai keberadaan pohon itu menimbulkan kemusyrikan. Kalau demikian kenyataannya, aku sanggup menebangnya demi menyelamatkan iman masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun