Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bu Muth

21 Februari 2019   12:44 Diperbarui: 21 Februari 2019   13:00 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kau sudah mantap pergi Senin depan, Muth?" Bram menatapku. Angin tipis menampar-nampar poninya yang mulai panjang.

Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuhembuskan, "Ya!"

"Apa karena kau diterima menjadi pns di sana? Ngomong, Muth! Kalau kau memang ingin menjadi pns, ayahku bisa mengusahakannya. Itupun bila kau tak betah menghonor terus di sekolah ini." Bibirnya bergemeretak. 

Aku tahu Bram tak ingin jauh dariku karena takut kekasihnya direbut orang lain. 

Haha! Kekasih? Siapa yang mengatakan aku menjadi kekasihnya? Aku hanya menganggap Bram sebatas teman. Tak lebih! Kalaupun dia menerka kedekatan kami selama ini---bukti aku ada hati kepadanya--- itu nonsens!

"Ya, aku tak munafik, Bram! Diterima menjadi pns, adalah faktor pertama yang memicuku pergi dari kota ini, dan berhenti menjadi guru honor. Tapi di samping itu, aku ingin mengabdikan ilmuku kepada mereka yang lebih membutuhkan. Pikirkan saja, Bram. Berapa orang guru yang mau bekerja di dusun, meskipun menjadi pns. Berapa pula yang ngotot tetap di kota besar, sekadar menjadi guru honor. Bukankah jatah menjadi pns di kota ini cukup sempit?"

Bram tertunduk. Dia mengaku kalah. 

* * *

Apa yang diucapkan Bram sampai mulutnya berbusa, ternyata kenyataan. Setelah menumpang bus ekonomi sekian jam, aku harus menyambung lagi dengan angkutan desa yang ringsek. Saling berdesakan dengan orang-orang dusun. Bertindih dengan sayuran dan buah-buahan. Juga bau keringat, bau tanah, bau ayam, tahi ayam. Fuhhh!  Aku harus kuat. Ini pilihanku

 "Ibu Muthia, ya?" sapa seorang pemuda ketika aku turun dari angkutan desa. "Aku Carik, Bu. Di suruh bapak kepala desa menjemput."

Kuulurkan tangan untuk memberinya salam. Dia malu-malu sambil merapikan pecinya. "Maaf, Bu. Tanganku kotor. Lagi pula, kita bukan muhrim." Hatiku tercekat. Masih ada pemuda sesopan dia sekarang! Aku buru-buru menarik tangan. Koper yang kubawa diambil-alih Carik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun