Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Rumah Panggung dan Gedebong Pisang

19 Februari 2019   10:48 Diperbarui: 19 Februari 2019   19:10 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

Aku berjalan menuju timur di sepanjang lorong sepi. Lolong anjing sekali-sekali saling menyahut di pinggir kampung. Malam benar-benar ramah. Hanya setumpuk awan tipis di sebelah tenggara sedikit mengotori. Bebintang bermain mata. Bulan sepotong seperti tergantung di daun-daun para---karet---yang memagar belakang rumah penduduk dari persawahan di seberang.

Tapi hatiku tak seindah malam ini. Encik Amah-lah yang membuatku galau. Encik Amah telah sepuluh tahun kunikahi, dan telah menghadiahiku tiga orang anak laki-laki. Dia paling tahu seleraku. Sepulang memasang bubu di pinggir sungai, tentu tak ada pilihan lain di rumah, kecuali segelas kopi panas dan sebungkus roti. Tentu saja bersambung kehangatan di atas tempat tidur sebagai pelengkap dan paling utama.

Sayangnya, perempuan itu seperti sengaja mencari masalah. Memang secangkir kopi---terus terang sudah dingin---terhidang di meja tamu. Sebungkus roti yang lebih keras sedikit dari sekepal nasi, pun menggunduk di piring kecil. Hanya saja, setelah meraupkan air ke wajah dan kutunaikan shalat isya, Encik bagaikan gedebong pisang di atas tempat tidur.

Padahal sebelum-sebelumnya, dia tak pernah terlena menghadap ke dinding. Biasanya dia selalu menghadap ke pintu kamar, yang artinya kami kemudian bisa saling bersitatap di atas tempat tidur. Aku boleh leluasa menatap wajahnya yang elok. Birahiku lekas terlecut untuk menuntaskan segala yang dingin menjadi hangat membakar. Itulah tabiat yang berlaku dalam bersuami-istri, yang kami anggap sebagai undang-undang tak tertulis.

Jelas saja sebagai suami, kali ini hatiku panas meradang. Kucoba menimbulkan sedikit keributan sambil mencari-cari sigaret di laci lemari. Setelah berganti pakaian dengan yang bersih dan hangat, pun aku merebahkan tubuh di kasur seraya menghempaskan tubuh lebih keras dari biasanya. Oalah! Ternyata Encik Amah tetap menggedebong pisang. Entah salah apa aku sehingga dia seperti itu. Seharusnya, sebagai suami, aku yang patut marah. Aku sudah capek memasang bubu di sungai, pulang ke rumah tak disambut  hangat.

Itulah maka aku memilih berjalan menuju timur. Sebuah rumah panggung beratap ijuk, kemudian menghentikan langkahku. Kunaiki tiga anak tangga kayu, lalu mengetuk pintu pelan. Ada derit kaki di lantai papan. Bunyi kletok anak kunci. Lalu seraut wajah mengantuk muncul di balik pintu. Dia perempuan berusia hampir enam puluh tahun. Uban menyemut di kepalanya. Sehelai selendang, serampangan dililitkan di kepala seolah ingin menyelimuti ubannya.

Wajah mengantuk perempuan itu berubah tegang manakala dia menyadari bahwa aku yang bertamu.

"Ada nasi, Mak?" Aku mengintip ke bawah tudung saji. Sepinggan gulai kentang masih tersedia. Dua potong ikan asin bakar. Juga dua-tiga cuil sambal bawang. Tanpa menunggu jawaban perempuan yang kupanggil Mak itu, tanganku membuka lemari. Sebuah piring akhirnya kuambil. Kusenduk nasi dari bakul rotan. Nasi yang dingin. Tapi aku tetap menikmatinya dengan bercap-cup di meja makan. Serasa lezat makanan-makanan itu memenuhi mulutku. Atau apakah aku hanya melezat-lezatkan karena ingin membunuh rasa kesal di dada?

"Si Encik tak masakkah?" Dia duduk di seberangku. Mulutnya  mempermainkan tembakau.

"Nasi dan lauk sudah habis!"
"Apa kau tak makan tadi sore?"
"Sudah!"
"Lalu?"

"Aku kesal kepadanya. Dia itu gedebong pisang!" geramku. Masih ada nasi dan gulai kentang di piringku. Tapi lapar ini sudah punah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun