Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumber Air Mata

16 Februari 2019   09:52 Diperbarui: 16 Februari 2019   10:13 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia menangis lagi. Kesekian kali selama dua minggu ini, tangisannyalah yang membangunkanku, bukan azan subuh. Seolah air matanya memiliki sumber. Aku  pernah berpikir mencari sumber air mata itu, menutupnya dengan semen dan batu koral.

Air mata tak akan menyelesaikan masalah. Walau dia menangis darah, atau  menangis nanah, toh Rukat tak mungkin kembali. Hadir di rumah ini menabur senyum. "Rukat sudah meninggal. Ikhlaskan saja!" ketusku beberapa malam lalu ketika dia menangis selepas shalat isya.

Bukannya hatiku tak luluh-lantak sepeninggal Rukat. Dia adalah anak yang kami tunggu setelah hampir lima belas tahun menikah. Setelah kehadirannya di muka bumi, bahkan dengan beberapa syukuran; mulai dari syukuran kelahiran, syukuran cukur rambut dan akikah, syukuran ulang tahun pertama dan kedua, namun silet maut lebih berkuasa memisahkan cinta dua orang tua dengan seorang anak yang sedang lucu-lucunya.

Salahku melepaskan Rukat pergi ke kolam pemandian yang baru buka di pinggiran kota. Dia diajak Munsen, adikku, bersama-sama keluarganya mandi-mandi ke sana. Aku yang tak bisa ikut menemani karena tugas penting ke luar kota, pun hanya bisa menangkan hati istriku, bahwa Rukat akan aman-aman saja. Istriku kebetulan pula tak bisa ikut menemani, karena tiba-tiba vertigonya kambuh.

"Ini semua sebab Ayah. Kalau ayah tak mengijinkan, Rukat tetap ada aman di rumah. Salah Musnen tak menjaga Rukat baik-baik hingga tenggelam. Salah mereka tak cepat-cepat menyelamatkan dan membawanya ke rumah sakit. Semua salah! Dan sekarang Ayah menyuruhku untuk berhenti menangis?" Itu adalah ucapannya yang pedas menusuk hati, dua-tiga hari setelah Rukat meninggal, dan aku mulai kerepotan oleh tangisnya.

Empat hari lalu, dia bercerita Rukat seolah datang setiap kali dia selesai melaksanakan shalat fardhu, sambil berdoa dan menangis. Kataku, dia hanya mengada-ada. Katanya, apa yang dilihatnya nyata. Kataku, dia telah mengganggu tidur tetangga. Katanya, tak mungkin tetangga mendengar tangisan itu. Kalaupun ada yang mendengarnya dan merasa tertanggu, itu adalah aku. Kalau aku merasa terganggu, berarti aku telah terganggu oleh kesenangan istriku. Berarti ada orang lain yang kucintai selain dia. Ada selingkuhan tepatnya. Lalu, aku akhirnya lebih banyak diam. Seperti sekarang.

Dia kemudian bergegas merapikan mukena ketika menyadari aku sudah bangun. Masih dengan menangis kendati tanpa suara. Terseok dia ke dapur. Kutahu matanya masih banjir. Entah kalau aku sudah berangkat ke kantor, dia  masih menangis, aku sendiri tak tahu. Terkadang di antara jeda santai di kantor, pikiran sinting menyelinap. Bagaimana kalau-kalau dia tenggelam oleh air matanya sendiri? Ah, kubuang jauh-jauh syakwasangka itu. Kendati aku yakin pikiran itu melintas lagi besok harinya, meski bukan pada waktu dan tempat yang sama, kecuali tentu aku kebetulan tak bersama dia.

Segelas kopi kemudian terhidang di meja. Tumben. Padahal setelah ritual tangis itu, dia seolah lupa menghidangkan kopi, kecuali air tawar. Dia juga menghidangkan sepiring nasi goreng yang sama-sama aku sukai dan Rukat.

"Rukat yang minta dimasakin nasi goreng. Dia juga minta dihidangkan kopi kesukaan Ayah. Sudah beberapa hari ini Ayah puasa ngopi." Lembut suara istriku. Ke mana tangisnya? Apakah aku hanya berhalusinasi?

Kulirik dia yang mengenakan baju terusan, sudah rapi. Wajahnya dibedaki tipis. Tak kutemukan sumber air mata di situ. Bahkan riaknya sedikitpun. Wajahnya masih muram, tapi jadilah ketimbang yang kemarin-kemarin. Aku curiga lantaran aku tak mengomentari tangisnya subuh tadi, sehinga dia berubah drastis. Atau sebab apa? Entahlah.

Diam-diam kuseruput air kopi. Kemudian tak sadar keningku mengernyit. Air kopi itu bukan berasa kopi. Seperti ada rasa asin yang samar. Seperti rasa air mata. Kulirik istriku, dia sudah tak ada. Ah, mungkin indra pengecapku sedang berhalusinasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun