Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Doea Perempoean

15 Februari 2019   22:36 Diperbarui: 15 Februari 2019   22:52 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 1945

Agustus  kering. Jalanan berdebu. Cakrawala benderang dengan kibaran merah putih melambai-lambai. Aku terharu. Akhirnya setelah perjuangan panjang, Indonesia merdeka. Aku bisa pulang ke kampung. Melepas kangen dengan kekasihku, Laode, yang hampir seperempat tahun kutinggalkan.

Masa yang tak lama. Tapi bagiku sangat lama. Penungguan di barak-barak perjuangan, demi bertemu lagi dengan Laode, seperti menghitung detik jam di tanganku. Dan sekarang semua selesai. Aku bisa melihat wajah perempuan itu lebih lagi. Memeluknya. Kalau perlu tak menunggu waktu berminggu, aku melamarnya. 

Segera aku melompat dari dalam gerobak pedati. Mak yang tengah menyapu di halaman, kutubruk. Kupeluk erat. Dia terkejut bukan kepalang. Matanya berbinar. Tak lama, bertetes air mata membanjiri pipinya yang menonjol.

"Kapan tiba, Nak? Mak tak yakin kau akan pulang hari ini. Mak pikir, kau tetap berjuang. Atau lebih betah di barak karena pejuang betinanya cantik dan ramah-ramah." Mak menggoda. Digandengnya aku ke dalam rumah. Mat, adikkku yang mungil, langsung menarik-narik celanaku gembira. Segera kuangsurkan kepadanya coklat mahal. Itu pemberian pria bule sahabatku. Seorang wartawan yang senang bergaul dengan gerilyawan. Mat girang. Dia berlari ke halaman. Menari-nari serupa  orang meminta hujan.

Bak seketika menghambur dari kursinya menyambutku. Direngkuhnya aku dalam sedu-sedan memburu. Ditanya kabar ini-itu. Kabar perjuangan anak muda Indonesia. Namun Mak menengahi. Dia menyuruhku duduk. Mandi dulu. Berganti pakaian dengan yang lebih bersih. Makan siang bersama, barulah bercerita.

* * *

"Mak sudah tahu hubungan kita, Bang?" Wajah Laode seketika berubah lesu. Padahal beberapa saat lalu, dia sumringah. Menggenggam tanganku dengan tatap tak puas.

Aku terdiam. Sungai di depan kami bergolak. Bunyinya keras menerpa bebatuan. Beberapa petani di seberang sana, sibuk menanam padi. Badan mereka terbungkuk-bungkuk. Tapi hati mereka terang. Tawa mereka cerah, saling bersenda-gurau. Kuingat masa-masa pertama berjumpa Laode di persawahan itu. Dia sedang sibuk menanam padi. Sementara aku dan beberapa rekan muda, melintas hendak mandi di sungai.

Sungguh, baru pertama kali itu aku berjumpa Laode. Padahal, sudah karatan aku di kampung. Seluruh seluk-beluknya telah dapat kutelaah. Tahu mana orang baru, mana orang lama. Dari perkenalan pertama dengan Laode, kutahu dia masih sehari tinggal di rumah Kek Saf. Dia mengungsi dari kota. Sebab ayahnya, seorang Jepang totok tengah dicari-cari pejuang. Ibunya yang orang Jawa tulen, terserempet peluru, ketika terjadi kontak senjata antara Jepang dan pejuang di ujung kota. Dan dia mati.

"Sudah!" jawabku singkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun