Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surat Cinta

12 Februari 2019   23:52 Diperbarui: 12 Februari 2019   23:58 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bercerai? Oh, itu tak ada dalam kamusku! Perceraian adalah pilihan terakhir dan terburuk. Aku membayangkan ketiga anakku yang sudah tumbuh besar akan terpukul manakala mengetahui orangtua mereka akan bercerai. Bisa-bisa sekolah mereka terganggu. Atau mungkin saja mereka nekat memboikot aku dan suami, dan tibalah masa bagi anak-anak mengungsi ke rumah kakek-nenek mereka. Yang terjadi kemudian, aku dan suami akan dimarahi oleh orangtuaku.

Ibu pasti berkata, "Itulah! Kau memang tak bisa membahagiakan suami. Sudah ibu katakan dari jauh-jauh hari, berhentilah bekerja kantoran. Uruslah suami dan anak-anak lebih telaten. Bila kejadian berakhir seperti sekarang, apa jadinya? Lihatlah, sampai usia menjelang tujuh puluh tahun, aku dan ayahmu masih saling menyintai. Kami bertengkar sekadarnya, dan tak memperuncing masalah  yang menyulut api perceraian."

Kuusap wajahku. Kucoba menenangkan pikiran. Hanya saja pikiranku berjalan-jalan entah ke mana. Aku langsung beranjak dari tempat tidur. Kudatangi suami yang sedang asyik menikmati mie goreng. Seleraku terlecut. Wangi mie begitu menggoda. Biasanya, saat Indra dan aku kompak, ketika dia sedang makan mie goreng, dia selalu belum bisa menikmatinya kalau aku tak turut bersantap di piring yang sama. Tapi sekarang.... Oh, apakah kami tak lebih dari kucing dan tikus?

"Pa, apakah sikap papa ini karena aku kurang perhatian kepadamu?" tanyaku. Dia mendengus. "Apa ada orang ketiga yang mengganggu rumah tangga kita?"

"Kau menuduhku berselingkuh?" Matanya membara. Tak pernah aku melihatnya semarah itu. Tiba-tiba dia membanting piring makannya. Mie berceceran. Pembantu tergopoh keluar. Wajah pembantu kusut. Matanya mengerjap-ngerjap. Buru-buru dibersihkannya ceceran mie dan pecahan beling. Pembantu menatapku. Aku mengedikkan bahu. Geram juga rasanya melihat Indra. Seolah kesalahanku sangat berat. Harusnya dia berterus terang. Kalau berterus-terang, emosinya kan tak perlu dipendam dan mengarat seperti sekarang? Aku takut suatu waktu dia sanggup menamparku. Coba saja, kalau mau aku berbuat lebih parah! Emosiku juga naik. Tapi aku mengingat wejangan Pak Min, seorang ustadz tetangga sebelah rumah kami. "Kalau sedang terjadi pertengkaran antara kalian, maka salah seorang harus mengalah. Jangan dua-dua membuka pintu emosi lebih lebar. Kalian tak ingin pertengkaran itu berujung timbulnya kekerasan dalam rumah tangga, kan? Istri melaporkan suami ke polisi karena kasus penganiayaan. Atau suami mengadukan istri tersebab istri melakuan perbuatan tak menyenangkan. Yang ada hanya malu. Berumahtangga itu memang sulit dan pelik. Tapi bila suami-istri saling memahami, dan tak suka menutup-nutupi persoalan yang mengganjal, maka berumahtangga itu adalah sorga dunia."

Aku kembali masuk ke kamar. Benar-benar, Indra sudah keterlaluan. Masa karena tubuhku melar dan aku kurang awas mempercantik diri, dia bisa bersikap serupa Rahwana kepadaku?

Di tengah kekalutan pikiran, Indra menyusulku ke kamar. Kulihat tangannya mengepal. Kubayangkan sebentar lagi jemari-jemari tangan itu membuka. Menyentuh dingin pangkal leherku. Lalu naik, mencekikku hingga mampus. Napasku tersengal. Tuhan, jangan jadikan hal-hal buruk kepada keluargaku.

"Kau mau menuduhku berselingkuh? Bukannya kau yang berbuat begitu?" geramnya.

"Jangan menuduh-nuduh dan mencoba memutarbalikkan fakta, Pa." Aku berbicara lembut, tapi cukup menusuk hati sehingga dia terdiam, kemudian duduk di sebelahku.

"Aku tak menuduh. Aku memiliki fakta yang kongkrit. Apa arti surat-surat cintamu di laci toilet? Pasti selingkuhanmu masih muda! Anak kuliahan, ya?"

Hatiku tercekat. Segera kubuka laci toilet dan mengeluarkan surat-surat cinta itu. Aku mengeluh. "Masih mau berbohong?" Suara Indra meninggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun