Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Taman Senja

12 Februari 2019   16:15 Diperbarui: 12 Februari 2019   16:25 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

"Nah! Merokok lagi!"  Dia protes. Aku menjawab dengan dengusan. Menghirup sedikit sisa kopinya di gelas. Lalu duduk di sebelahnya.

"Kau yang menggodaku!" geramku. Dia tertawa karena aku hanya pura-pura marah. Meski suka berdebat, dialah yang tak mau melarang setiap keinginanku. Misalnya masalah merokok, paling dia menegur sedikit. Selebihnya dia hanya mengajakku memperbincangkan yang lain. Yang segar-segar. Berbeda betul dengan dua abangnya. Setiap sempat berkunjung ke rumahku, mereka selalu memekakkan telinga ini.

Ocehan-ocehan keduanya berhamburan. Tentang kamarku yang kotor. Tentang baju-baju bergantungan. Juga kebiasaanku pergi ke taman ketika senja tanpa teman. Padahal di rumah ada pembantu. Seharusnya kamarku bersih, rapi. Seharusnya pembantu menemaniku ke taman. Kalau aku ke taman sendirian, lalu terjadi apa-apa, siapa yang dapat menolong?

Itulah yang membuatku bosan kepada dua abang si Mardi. Perkara ke taman sendirian, memang kehendakku. Perkara kamar kotor dan baju-baju bergantungan, hanya tersebab aku belum sempat memberihkan dan meletakkan baju-baju itu ke keranjang cucian. Menyuruh pembantu aku tak hendak. Kalau dibantu semua, aku tentu tak ada gerakan. Kondisiku akan lebih cepat soak, pikun, kemudian hanya bisa tiduran di kamar dan harus dibantu segalanya termasuk berak dan kencing. Memalukan!

"Mungkin aku bisa menemani Papa ke taman. Rasanya kangen. Sekalian mencari.... Hahaha!"

"Aku sekarang benci ke taman!"

"Kenapa?"

Kuceritakan tentang para pengunjung yang tak tahu berterimakasih itu. Mereka telah menggangguku menikmati semburat matahari senja yang diam-diam lepas di balik Bukit Siojo. Ya, dengan celoteh mereka, dengan sampah-sampah, dengan gangguan terhadap hewan-hewan. Ah, kalau saja orang-orang itu lebih senang menikmati siaran televisi di rumah masing-masing, tentu tak harus begini jadinya.

"Tapi mereka juga memiliki hak pergi ke sana. Taman disiapkan pemerintah demi orang banyak. Jadi, Papa tak bisa protes, dong!"

"Ya, aku sebenarnya tak ingin memerotes. Hanya saja, perbuatan mereka menimbulkan ketaknyamanan. Bagaimana mungkin taman bisa utuh bersih bila orang-orang sedemikian tak bertanggungjawab terhadapnya," geramku. Kali ini aku benar-benar geram.

"Ya, sudah, Pa! Kalau memang tak ingin ke sana, aku akan pergi sendirian. Ada bisnis soalnya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun