Kami terpelanting dari kata-kata yang terjulur dari ular lidah bercabang dua, karena kami sekali waktu dihantarkan ke peraduan, singgasana seperti tak kesudahan, hari-hari limpahan eksotis bulan dan bintang. Sekali waktu pula dihempaskan ke kerak kesusahan, seumpama sampah paling sampah, dan air mata mustahil dibarter kasihan.
Kami tak kuasa dicincang bimbang, meskipun kau tumbuh di pohon-pohon, kau payungi kami dari angkasa. Seolah kami tak kuasa atas cahaya.
Apatis ditanam, dipupuk dengan duka cita, caci maki seakan lalap keharusan untuk sebuah perjamuan.
Kami sudah kehilangan nafas manusia. Kami telah melupakan tangan yang terulur. Ketika harapan adalah api yang membakar permusuhan, api yang melunaskan jiwa fana, terlupa.
Ref. Foto : pixabay