Percakapan imajiner
Lelaki itu selalu muncul setiap kali gerimis turun menjelang maghrib, setelah siangnya matahari merajai dunia. Lama tak bersua, kangen ini membara kepadanya. Meski acapkali, setiap bertemu, kami tetap tak bisa bebas melepas kangen. Kami menghabiskan detik demi detik dengan pertengkaran. Biasanya aku yang menang, tapi di ujung, dialah yang paling sering menjadi juara. Tersebab dia memang memiliki pengikut yang amat banyak melebihi pengikutku. Dia pasti terpingkal sampai keluar airmata. Aku hanya dapat mengelus dada, sekalian menyimpan rasa heran di dada.
Lelaki itu mengiming-imingi setiap pengikutnya dengan aturan yang ketat, bahkan butuh biaya yang tak sedikit. Anehnya selalu bertambah anggotanya dari waktu ke waktu. Sedangkan aku, meski menggratiskan dan tanpa memberikan aturan ketat, tetap banyak yang menghindar. Andaikan ada yang masih bertahan, hanya orangtua-orangtua yang bongkok menunggu ajal. Apalah kekuatan orangtua-orangtua untuk memenangkan setiap pertarungan hidup? Pantaslah kami selalu kalah bertarung, dibanding jibunan anak buah lelaki itu yang muda dan gagah-gagah.
Hari ini, setelah hampir duapuluh tahun tak bertemu, sengaja aku menunggunya di teras belakang rumah sambil menatap bulan sepotong. Dia tampak lain dari biasanya. Sebelum-sebelumnya, apabila datang, dia selalu dengan kemewahan. Berjubah beludru dengan bagian leher dililit bulu binatang buas. Bermahkota intan-permata mutu-manikam, sehingga menyilaukan mata menatapnya.Â
Jari-jemari tangannya ditumbuhi cincin emas berkilauan. Tak ada yang terlewat, dari jempol sampai kelingking. Tangan kanannya memakai tongkat berbentuk ulir dengan kepala ular di ujungnya yang terbuat dari susunan berlian. Tak lupa tangan kirinya menenteng cawan berantai yang menggantung melambai-lambai. Cawan itu berasap. Wangi gaharu menyengat, bercampuraduk kemenyan. Dan dia akan memeluk tubuhku erat-erat dengan tawanya yang besar dan puas.
Sekarang nyaris dia berubah gembel. Tongkatnya hanya sebatang rotan. Dia tak membawa cawan berantai selain kobokan dari  seng yang gompel-gompel. Tak ada mahkota menghiasi kepala berambut awut-awutan itu. Tak ada cincin menghiasi seluruh jemari tangan, kecuali bekasnya yang menghitam. Matanya kuyu. Tawanya tak berdesau selain hanya dengusan yang layu.
Aku jatuh kasihan. Gerangan apa yang menimpa sahabat sekaligus musuhku itu? Meski seperti sahabat lama tak terpisahkan, tapi kami tetap berseberangan dalam segala hal.
"Ada kabar hai, Saudara Tua? Duduklah bersantai. Kenapa setelah duapuluh tahun tak bersua, kau kelihatan sangat menderita?" Ingin rasanya tertawa ketika dia duduk di sebelahku dengan linangan air mata. Dia nyaris serupa anak kecil yang kehilangan permen karena tejatuh ke selokan. Namun, tak baik menertawakan sahabat sendiri. Selain bisa menyinggung perasaannya, biasanya yang tertawa belakangan akan menang. Dan kali ini, meski iba melihatnya, aku tak ingin dia menang selangkah lagi dariku.
"Aku kehilangan pekerjaan!" ketusnya.
"Kehilangan pekerjaan?"
"Ya!"