Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Bernama Sinta

7 Februari 2019   11:29 Diperbarui: 7 Februari 2019   11:41 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Kelelahan setelah menghadiri kampanye dialogis di Desa Merah, ternyata tak terbayarkan. Padahal selama perjalanan yang dilalui lebih satu jam menumpang speedboat, dan setengah jam berikutnya mengendarai Mobil Ford, aku sudah membayangkan suasana yang menenangkan di rumah. Istri akan menyambutku dengan segelas susu panas. Serta hidangan makan malam berkuah serupa sop, pindang atau semacamnya. Sebelumnya, tentu dia telah menyediakan air hangat untukku mandi, serta satu stel piyama.

Tapi segala harapan itu punah. Istriku tak ada di rumah. Pembantu kebetulan mudik karena sanaknya kenduri. Sedangkan dua anakku, tak biasa pulang di bawah pukul duabelas malam. Mereka selalu muncul dini hari, sehingga aku bingung apa saja pekerjaan mereka di luar sana.

Kutemukan di kamar mandi hanya ada air dingin di bak yang terisi seperempat. Akhirnya kuputuskan mencuci muka di wastafel. Kutemukan pula nasi yang dingin di bawah tudung saji. Sepotong paha ayam goreng, juga sambal terasi berasa garam. Dan kuputuskan pula untuk menunda lapar.

Hatiku ngedumel. Emosiku mendidih. Hampir tiga bulan belakangan ini, saat di mana para calon legislatif jor-joran menjual diri, istriku berubah menjadi orang asing. Penyebabnya tak lain karena dia menjadi salah seorang calon legislatif dari Partai Kacang Buncis. Padahal sudah dari berbulan lalu aku mewantikannya, agar tak terjun ke dunia politik. Aku tak ingin kehidupannya menjadi kotor. Dia pasti menemukan sebuah alam yang penuh kebohongan dan tipu-daya. Dan yang lebih parah lagi, dia menjadi liar, sebab tak lagi di rumah mengurusiku serta anak-anak.

Sayangnya, Hikmah, istriku itu, tetap ngotot. Dia malahan menuduhku sebagai seorang pengecut. Aku dicap takut disaingi. Karena kami sama-sama calon legislatif. Bedanya, aku dari Partai Kacang Panjang, sedangkan dia dari partai yang sudah kusebutkan di atas.

Ketakutkanku akhirnya terbukti. Seminggu setelah mendaftar sebagai calon legislatif, Hikmah benar-benar menjadi aneh. Dia hanya menyediakan tempat tidur serta meja makan yang dingin setiap kali aku pulang larut malam. Padahal sebelumnya, dia selalu menyambutku hangat, dengan pakaian dan parfum menggoda. Dia tanpa ragu-ragu menggairahkan perutku serta dilanjutkan kehangatan malam dari jari-jemarinya yang lentik. Lalu, malam ini adalah malam kesekian dia mengecewakanku.

Sambil duduk di depan televisi yang menyiarkan acara "caci-maki", aku teringat tawaran Imron, rekan sesama calon legislatif dari partaiku. Tadi, aku memang mengeluhkan tentang perilaku  Hikmah belakangan ini, serta puasa syahwat yang diberikannya tanpa ampun kepadaku.  "Aku menjadi seorang suami yang tanpa istri. Perkara pengisi perut, mungkin aku bisa berinisiatif membeli makanan dan minuman dari restoran. Tapi masalah tempat tidur, apakah aku harus mencarinya dari tempat tidur tetangga?" keluhku saat itu.

Imron tertawa. Dia geli melihat keluguanku. Perkara perempuan saja pusing. Karena itulah dia mengangsurkanku secarik kertas bertuliskan sebaris nomor telepon. Katanya itu milik Santi, seorang pelacur kelas kakap yang baru dikenalnya sebulan-dua ini. Dia mengatakan, kami pasti cocok. "Cobalah berkenalan dengannya. Dia masih baru, dan tentunya wangi. Lagipula, dia juga mencalonkan diri menjadi calon legislatif. Aku yakin profesi kalian yang sama, membuat kehangatan tempat tidur berubah bara. Terus terang aku telah menikmatinya. Jadi sebagai teman separtai, kuharap kau juga dapat merasainya," ucapnya diakhiri tawa terkekeh-kekeh.

Aku hanya menerima secarik kertas itu, tanpa bermaksud menemui Santi berdua Imron, di Kafe Latine. Sebagai seorang suami yang memiliki istri cantik, dan bapak yang mempunyai dua anak, aku tak boleh gegabah mengulang kebiasaan lama. Sekian puluh tahun lalu, setelah menikahi Hikmah, aku telah bertekad menghentikan kebiasaan burukku di masa lajang. Terus terang di masa itu aku adalah seorang bujangan yang tiada lelah menikmati kehangatan para gadis-gadis cantik, bahkan sampai merasakan genitnya malam di lokalisasi.

Namun malam ini, setelah kali kesekian dikecewakan Hikmah, tentulah tak ada salahnya aku bermain "api". Anggap saja sebagai ungkapan balas dendam. Lagipula, suami mana yang sanggup menahan syahwat sampai tiga bulan? Seperti pamoe teman-teman (maaf) sperma bisa menjadi batu akik.

Aku juga tak ingin menahan lapar di rumah. Lebih baik kutelepon Imron untuk mengajaknya mencari selera perut, dan mungkin dilanjutkan mencari selera mata. Setelah itu, bla-bla-bla, terserah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun