Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kereta Malam

6 Februari 2019   15:38 Diperbarui: 6 Februari 2019   20:43 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

"Aku lebih senang di sini. Lebih merakyat." Kulirik anaknya sudah tertidur pulas. Kubenarkan tangannya yang menggantung, agar tidak pegal ketika nanti terbangun. "Kau sendiri bekerja di mana?" Aku mecoba mengakrabkan diri.

Ratna tidak langsung menjawab. Tatapannya mengapung di atap gerbong. Ketika kembali memandangku, kulihat ada rasa malu memancar dari bola matanya. Tapi hanya sekejap. Selanjutnya dia sudah berceloteh panjang lebar.

Jujur kukatakan, aku sangat terkejut mendengar pengakuannya. Dia menceritakan bahwa pekerjaannya adalah sebagai tukang pijat. Atau dengan istilah yang diperhalus dan berkelas : massage. Diakuinya, pekerjaan tersebut memang cenderung ke perbuatan tidak senonoh. Tapi masih lebih aman ketimbang menjadi kupu-kupu malam. Dikatakannya juga bahwa dia masih memiliki suami di Jawa. 

"Kau tidak takut anakmu terpengaruh oleh profesimu?" tanyaku perlahan.

Dia tertawa sumbang. "Apa yang harus kutakutkan, Mbak? Ini adalah pekerjaanku. Profesiku.  Namun dia tidak tahu kalau bundanya hanyalah seorang tukang pijat. Karena selama aku bekerja, dia kutinggalkan di rumah susun bersama tetangga dan anak-anaknya."

"Kau sekolah sampai SMA, ya?" tebakku.
"Bukan.! Sarjana!"
Aku terhenyak. Peganganku pada tangan kursi mengencang. "Sarjana?"
"Ya, Mbak terkejut? Tapi ini adalah kenyataan. Aku harus hidup bagaimanapun caranya. Anakku juga butuh hidup, sekolah dan sebagainya. Semua itu perlu uang. Dan asal uang adalah dari hasil kerja."
"Jadi, sekarang kau mau mudik ke Jawa?"
"Ya, mudik selamanya."
"Kok?"

"Ya, meskipun tadi aku mengatakan tidak takut anakku terpengaruh terhadap profesiku, tapi toh aku seorang perempuan yang tidak ingin anaknya kelak hancur dan mengikuti jejak bundanya.

Aku ingin anakku memiliki harga diri. Memiliki pekerjaan terhormat seperti Mbak Saras." Dia melamun sejenak. "Pasti keluarga Mbak selalu hidup tenteram, ya? Pekerjaan Mbak terhormat. Penghasilannya pun terhormat." Dia tertawa lagi. Masih dengan nada sumbang. Aku membalasnya dengan senyuman yang barangkali kelihatan tidak mengenakkan. 

Sekonyong bayang-bayang Imah kembali mendatangiku. Menudingku dengan telunjuknya yang mungil. Kemudian berganti Sam yang gelisah dengan telapak tangannya yang terus berkeringat. Dia mungkin ingin mengatakan sekarang penyakit jantungnya bertambah parah.

Atau, ah....Apakah layar khayal itu bukan berganti sebaliknya? Mungkin saja Imah sekarang sudah melupakanku. Sebab telah ada seorang ibu pengganti. Dia dan Sam barangkali telah nyaman tanpa kehadiranku. Atau, adakah Imah tersiksa dengan ibu tiri yang kejam? Tidak! Membayangkannya saja aku tidak sanggup. 

"Mbak Saras melamun lagi?"
Kususut air mata yang tidak mau kompromi. Ratna mengangsurkan tissu kepadaku.
"Mbak menangis?"
"Aku hanya teringat Imah, anakku. Kangen barangkali." Aku mencoba berbohong. "Sudah beberapa hari aku tidak melihatnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun