Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Tempat Mereka Singgah dan Menetap

28 Januari 2019   15:25 Diperbarui: 29 Januari 2019   10:58 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Aku pun tinggal di rumah Wak Leman yang menjulang tinggi. Kamarku di lantai empat. Kecil serupa barak kambing milik kepala kampung. Tapi kata Wak Leman, jadilah untukku beristirahat.

Kau tahu, Win, hatiku bukannya damai di kota. Semuanya bising, apalagi bunyi-bunyian yang ramai tepat di atas kamarku.

"Suara apa yang ramai itu, Wak! Aku tak bisa tidur dibuatnya," kataku takut-takut ketika makan siang di lantai satu gedung itu.

"Oh, itu suara tape recorder!" Istri Wak Leman yang menanggapi. "Wak-mu lain usahanya. Tapi penghasilannya banyak."

"Wak usaha apa?" kejarku.

Lagi-lagi istrinya yang menjawab. "Itu, pergilah ke luar! Mendongaklah ke atas. Kau pasti tahu apa usaha Wak-mu." Dia tersenyum simpul. Wak Leman hanya mengedipkan mata sambil menikmati hidangan di depannya dengan lahap.

Aku penasaran, Win. Santapan nikmat bukan kepalang di atas meja, sengaja kutinggalkan. Apa usaha Wak Leman sehingga bisa membangun gedung bertingkat empat, eh.. . maksudku bertingkat lima seperti ini? Karena setelah kamarku, di atasnya masih ada setingkat lagi. Aku tak tahu siapa yang tinggal di situ. Aku belum pernah masuk ke dalamnya. Sebab Wak Leman melerangku. Padahal suara ribut itu berasal dari sana seperti yang telah kuceritakan tadi.

Kau tahu, Win. Kakiku langsung gemetar. Aku lemas ketika sampai di luar dan mendongak ke atas. Beratus-ratus burung layang-layang berterbangan. Sebagian singgah, dan memasuki gedung di tingkat lima yang berlobang-lobang serupa lobang angin. Oh, kiranya burung-burung itu menetap di gedung Wak Leman. Aku bahagia, Win. Wak Leman juga pecinta burung layang-layang, sehingga dia membuat tempat untuk mereka menetap. Barangkali burung layang-layang yang lari dari kampung kita, sebagian telah menempati gedung di tingkat lima itu.

Aku berlari ke dalam. Rasanya senyumku belum pernah selepas saat ini, sejak orang-orang dari kota menyerang goa tempat kita bermain.

"Terima kasih ya, Wak! Wak juga penyayang burung layang-layang? Betapa mulianya!" Wak Leman mendecak. Istrinya menyendukkan lagi lauk berkuah yang rasanya nikmat itu ke piringku.

"Wak-mu memang sangat menyayangi mereka. Maka itu, kau juga kami minta mengurusi burung-burung itu, di samping nanti kau kami sekolahkan," kata istrinya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun