Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Tempat Mereka Singgah dan Menetap

28 Januari 2019   15:25 Diperbarui: 29 Januari 2019   10:58 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Ayah hanya menyuruhku bersabar ketika kukatakan goa tempatku bermain dilantak orang-orang kota. Mak mengelus dada, lalu menyuruhku mandi. Dia telah menyiapkan sepiring nasi berlauk ikan bakar dan sedikit kecap. Ketika aku menanyakan sayur bening, mak mengatakan tak ada. Tengkulak yang biasanya datang dari kota, hari itu absen membawa sayur-mayur dan lauk-pauk. Mungkin mereka tergoda juga dengan cerita sarang burung layang-layang yang berharga menggiurkan itu. Sempat kudengar tadi dari celoteh orang-orang, bahwa harga sekilogram sarang burung layang-alayang, tujuh jutaan lebih. Aku takjub. Aku tak bisa membayangkan berapa banyak lembaran uang tujuh juta itu.

Orang-orang kota hampir setiap pekan datang menghabisi sarang burung layang-layang di goa itu. Beberapa warga kampung kita, pun sekali-sekali mengambilnya di malam buta. Kau tahu, Win, bila ketahuan mereka ditangkap polisi. Kata polisi sarang-sarang burung itu telah menjadi hak pengusaha dari kota. Padahal goa itu tak ada pemiliknya, kan? Seharusnya, orang yang berhak menguasainya hanyalah warga kampung. Tapi semua orang sepertinya takut kepada pengusaha itu.

Aku berdoa semoga mereka yang mengambil sarang burung layang-layang itu kuwalat. Atau bisa jadi mereka merugi.

Hasilnya, sungguh di luar dugaan. Tuhan pasti mendengar doaku. Beberapa orang lelaki bertopi yang mengambil sarang burung di dinding gua yang berkarang tinggi dan curam, terkadang tak hati-hati. Mereka terpeleset, jatuh ke tanah, lalu tulang-tulang mereka patah. Bahkan aku dengar ada yang sampai meninggal. Syukurlah! Mudah-mudahan mereka sadar.

Sayangnya, aku ternyata salah. Orang-orang itu bertambah berangasan. Pikiran mereka hanya bagaimana cara mendapatkan sarang burung yang banyak dan menghasilan uang bergoni-goni.

Beruntunglah lambat-laun burung layang-layang itu jera masuk ke goa. Mereka menghilang entah ke mana. Mereka tak mau lagi membuat sarang di goa itu. Dengan begitu, orang-orang dari kota ikut jera. Semuanya pulang ke daerah masing-masing. Sedangkan goa terbiar tak berpenghuni. Sekali-sekali aku masih senang ke sana. Tapi burung layang-layang tak ada. Kelelawar telah menguasai goa itu dengan bau busuk mereka dan tahi-tahi berhamburan. Kau takut kelelawar, kan? Aku juga membenci mereka!

Sekarang burung layang-layang masih dapat terlihat di siang hari berseliweran mencari makan di sepanjang pantai. Namun ketika hari mulai senja, mereka menghilang. Terbang jauh entah ke mana. Aku tak tahu di mana mereka membuat sarang.

Hingga pagi ini, aku terpaksa melupakan tentang burung layang-layang, goa, pantai dan rumahku. Maaf, aku lupa menceritakan kepadamu, Win. Kampung pantai telah habis dibabat ombak besar ketika badai tiba. Rumah-rumah hilang dijilatnya. Ayah dan mak tak tahu ke mana rimbanya. Mungkin masih hidup, mungkin sudah meninggal. Aku pun diajak Wak Leman, abang mak mengungsi ke rumahnya di kota.

Padahal aku enggan, Win. Sesuai dengan janjiku, aku bertekad tinggal di pinggir pantai sampai aku tua serupa Kek Mar. Aku memang tak bisa melaut karena tak memiliki sepasang kaki yang utuh. Tapi setidak-tidaknya aku bisa bekerja seperti mak, di dapur dan menjemur ikan. Aku juga akan menjahit jala, atau sekali-sekali membuat perahu.

Namun sekarang aku harus mengubur semuanya. Orang-orang yang kucintai telah hilang. Lagipula Wak Leman sangat keras hatinya mengajakku ke kota. Dia berjanji akan menyekolahkanku. Hmm, sekolah! Umurku sudah menjelang tigabelas tahun sekarang.

Ya, aku akhirnya pergi ke kota. Harapan satu-satunya kelak ada mukjizat yang mempertemukan aku dan kau Win, juga ayah dan mak Aku sangat merindukanmu. Kapan kita bisa kembali ke goa melihat burung layang-layang hidup damai? Mungkin mustahil, ya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun