Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Tempat Mereka Singgah dan Menetap

28 Januari 2019   15:25 Diperbarui: 29 Januari 2019   10:58 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Tapi setelah kau pergi bersama Wak Nang ke negeri jauh, aku didera sepi. Kek Mar meninggal dunia beberapa bulan setelah kau tak ada. Tinggal aku tak memiliki teman, selain ayah yang sibuk ke laut terus setiap hari. Dan mak yang setiap hari bekerja di dapur, meski sekali-sekali ke halaman depan yang berpasir. Dia menjemur ikan sepert biasa untuk dijadikan ikan asin.

Berkawan dengan anak-anak seumuranku juga tak mungkin, Win. Mereka senang bermain di laut. Mereka senang menangkap ikan, berenang ke tempat-tempat yang dalam bersama cakar ombak yang tak ramah. Sementara aku, fuh... Kau sangat tahu bahwa mustahil aku bisa pergi ke laut. Aku sama sekali tak mampu berenang. Kakiku tak lengkap. Hanya ada kaki kanan yang sempurna, sedangkan yang kiri hanya sebatas paha. Berjalan saja susah, apalagi hendak berenang. Ya, kau selalu menyuruhku agar tabah!

Dan mengenai burung layang-layang itu, akhirnya diserbu lelaki-lelaki bertopi dan membawa keranjang yang tersangkut di bahu mereka. Lelaki-lelaki bertopi itu membawa galah. Kau tahu Win, mereka menyerbu ke goa tempat bermain kita.

Pada awalnya aku tak peduli. Tapi ketika aku melihat di langit burung layang-layang menjerit, aku cemas. Teman-teman kita itu pasti diganggu. Sayang, kalau saja Kek Mar masih hidup, dia pasti mengusir lelaki-lelaki bertopi itu. Dia masih memiliki senapan peninggalan Belanda, kan?

Aku segera berlari ke goa itu. Di sana tak hanya ada lelaki-lelaki bertopi itu, tapi orang-orang kampung kita turut merubung. Mereka berceloteh riang. Apalagi lelaki-lelaki bertopi itu keluar dari dalam gua dengan keranjang penuh.

"Wah, tak nyangka ya, sarang burung layang-layang berguna! Harganya mahal! Kenapa tak dari dulu kita tahu dan mengambilnya. Sekarang tempat itu sudah dikuasai kepala kampung. Dia dibayar pengusaha kota untuk seluruh sarang yang didapatkan," kata seorang lelaki berperut buncit dan berdada sempit.

"Seharusnya kita yang membantu pengusaha itu mengambil sarang burung itu. Bukan oleh orang-orang bertopi yang dibawanya langsung dari kota," balas temannya yang bergigi tonggos.

Sarang burung layang-layang? Aku mencoba menerobos masuk ke dalam goa. Aku kasihan membayangkan telur-telur burung itu berjatuhan karena sarangnya diambil. Telur-telur itu pasti pecah. Induk mereka pasti bersedih. Kubayangkan ludah bercampur darah yang dimuntahkan burung layang-layang demi membuat sarang. Oh, lelaki-lelaki bertopi itu sungguh biadab!

Tanganku yang kecil dan dekil, dicengkeram seseorang sehingga langkahku tersedak. Aku mendongak, kemudian melihat seringaian kepala kampung. Berani betul dia menyakitiku. Kalau saja Kek Mar masih hidup, dia tentu dikemplang dan tersungkur-sungkur meminta ampun. Kek Mar jagoan. Dari dulu kepala kampung tak pernah berani melawannya. Mak bercerita, Kek Mar pernah memukuli kepala kampung sampai muntah darah, karena dia  mengganggu mak. Kek Mar tak suka anaknya diganggu apalagi oleh lelaki yang berotak bejad itu.

"Anak si Safiah ini mau berulah pula!"

Aku hanya bisa tunggang-langgang berlari ke rumah. Aku menangis sejadi-jadinya membayangkan nasib goa tempat  kita bermain. Burung layang-layang itu pasti sangat ketakutan, Win.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun