Telah dua bulan Inong tak pulang. Kegelisahanku semakin menumpuk. Pikiranku bercabang, antara masih mempercayai atau malahan menganggapnya mulai main api. Coba, siapa yang tahan jauh dari istri, sementara untuk mendapatkan perempuan, Â cukup mudah. Apalagi bagi Inong. Perkara uang, sungguh berlebih. Perkara wajah, di atas rata-rata. Plus tubuh yang atletis.
Dalam surat terakhirnya dia mengatakan; Mungkin aku akan pulang lebih lama. Pekerjaan menumpuk. Ada sedikit masalah.
Yasmin mengatakan aku bodoh karena terlalu percaya kepada Inong. Sekarang jaman modern. Kenapa aku tak meneleponnya saja? Saat ini kapan saja bisa menelepon. Beragam paket provider telah mempermudah pelanggannya agar tak sampai cekak.
"Tapi di lokasi kerjanya tak ada sinyal, Yas!" tekanku. Aku mencoba membela diri, dengan berusaha menutup-nutupi rasa gelisah. Berita yang dia sampaikan telah membuat jantungku dag-dig-dug. Akan hal Shinta, teman sekelasku yang suaminya bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, telah pula memiliki madu. Lebih parah dari itu, si cantik Milah, harus bercerai karena suaminya sering jajan di tempat kerjaan.
"Tapi salahmu juga mau melepaskan Inong kerja di luar kota." Yasmin menghempaskan napas, sekaligus menghenyakkan tubuhnya di sofa. Bercampur antara rasa pedas setelah makan bakso dan rasa jengkel terhadapku, membuat bulir-bulir keringat menggambar keningnya.
Aku tertunduk. Sungguh tak ada pilihan bagiku selain melepaskan Inong ke negeri jauh. Itu semua tuntutan kerja. Siapa coba yang senang ditinggal suami, apalagi kami baru menikah dalam hitungan bulan.
Inong sudah lama bekerja di perusahaan itu. Bahkan jauh sebelum kami menikah. Jauh sebelum kami saling mengenal. Apa hakku menyuruhnya berhenti dan mencari pekerjaan yang bisa dekat-dekat dengan istrinya? Tentu aku telah berlaku bodoh. Andaikan dia bisa mendapat pekerjaan baru---kendati ibarat mencari jarum di tumpukan jerami---tapi apakah bisa bergaji lumayan?
* * *
Entah kenapa dulu aku tiba-tiba mencintai Inong. Kami bertemu tanpa sengaja saat aku sedang dipanggil interview untuk sebuah pekerjaan di perusahaan migas. Beruntungnya aku lulus dari puluhan pelamar kerja. Dari sekadar saling menegur sambil-lalu, kami menjadi sangat sering bertemu dan akrab. Ternyata kami bekerja dalam satu perusahaan, meskipun tak dalam satu divisi dan satu kota. Inong di divisi pengeboran dan bekerja berpindah-pindah tempat, sedangkan aku mantap sebagai staff keuangan di kantor pusat.
Sebelumnya aku tak pernah berpacaran. Aku seorang yang dingin kata teman-teman, tapi bukan frigid. Menjadi akrab dengan Inong, adalah anugerah. Apalagi kemudian dia melamarku, sungguh kurasakan diri terbang melayang. Kalau pun kemudian salah seorang dari kami---dan itu aku---harus berhenti akibat kebijaksanaan perusahaan yang tak memperbolehkan suami-istri sama-sama bekerja dalam satu atap --- maksudku perusahaan---toh demi keutuhan cinta kami, aku menerimanya dengan lapang-dada. Penghasilan Inong jelas lebih dari cukup buat kami berdua..
Begitulah, waktu bergulir cepat. Menjadi lazim bagiku menjadi seorang istri seperti tak memiliki suami. Setiap dua puluh hari dalam sebulan, aku harus sendirian di rumah, dan sesekali menginap di rumah orang tuaku. Dan seminggu penuh selanjutnya, aku bersama Inong. Ya, seperti itulah yang lazim. Bukan sampai dua bulan tak pulang-pulang seperti sekarang ini.