Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kota Berbagai Cerita

21 Januari 2019   13:36 Diperbarui: 21 Januari 2019   13:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Sebuah kota. Pagi yang merayap. Rumah-rumah mengepul. Bau roti memanggang angkasa. Jalanan masih lengang. Satu-dua pengendara sepeda melintas. Angin seakan menjadi sangat lembut. Dingin. Bukit-bukit yang memenjara kota bersidekap kabut. Sebuah kedai, menebar aroma kopi. Celoteh berterbangan. Wangi mie rebus, menonjok lapar. Bau roti sangat tegas. Barangkali roti akan dikoyak-koyak, kemudian dibenamkan ke lumpur coklat.

Sama seperti orang-orang yang merasa lapar di pagi menyekap, aku berhenti juga mengayuh sepeda. Mungkin seorang perempuan berbadan sedang akan menerimaku  di kedai dengan lirikan ramah. Dia akan menawarkan secangkir kopi, mie rebus, atau roti berlumpur coklat. Hmm, kuraba perut, kurasakan hati memutuskan masuk ke kedai yang rapih dan bersih itu.

Beberapa orang yang duduk di bangku panjang, seolah tak menyadari kedatanganku. Mereka asyik melihat layar televisi yang menyiarkan acara bola kaki. Sepertinya siaran tunda. Aku mengambil tempat duduk di sela orang-orang. Cukup susah memasukkan sepasang kakiku ke depan bangku panjang. Sejenak ujung sepatuku menyenggol pinggang lelaki berbadan gempal-badak. Dia menoleh, seperti ingin mendengus. Tapi yang tampak hanya senyuman, saat aku mengangguk sebagai tanda meminta maaf.

"Sudah mendengar pembunuhan di Saimori?" Seseorang mengumpankan tanya, sehingga seluruh mata, termasuk aku, menatap orang itu dengan tajam. "Kepalanya terpenggal. Kabarnya hanya masalah uang parkir."

Lelaki gempal-badak itu memasukkan jari telunjuk kanannya ke sela gigi dan kulit pipi. Dia membersihkan sesuatu yang mengganjal di situ. "Itulah salah orang-orang di Saimori. Terlalu banyak motor. Terlalu banyak mobil. Coba di daerah kita, kebanyakan dilalui sepeda."

"Tapi sepeda juga perlu tempat dan uang parkir. Cuma tak sesusah memarkirkan motor atau mobil."

Sesaat hening. Perempuan penjaga kedai mengangkat gelas, mungkin menawarkan kopi. Aku sedikit terkesima. Perempuan itu lumayan seksi dan cantik. Kenapa dia bersedia menjadi penjaga kedai? Tapi kali kedua dua mengangkat gelas, aku mengangguk cepat. Sekalian aku meminta semangkok mie rebus.

Obrolan orang-orang di sekitarku, kemudian beralih ke masalah korupsi yang merajalela di kota tetangga, di Marsia. Aku menerima segelas kopi, menyusul semangkok mie rebus. Sambil lalu aku melebarkan lobang telinga. Mendengar bincang-bincang korupsi yang menggelitik telinga.

"Masa' menangkap pelaku korupsi saja tak bisa. Banyak pula alasan, sakitlah, ke luar negerilah. Hahaha, betapa lebih mudah mengejar maling ayam ketimbang koruptor. Persoalan sekarang koruptornya hanya seorang, tapi pertaliannya banyak. Silang-sengkarut. Yang satu menuduh yang sana. Yang sana menuduh yang sini. Yang sini menuduh yang situ. Padahal sama-sama maling. Maling teriak maling." Seorang lelaki kurus dengan mata selebar uang logam, memberi tanggapan.

"Beruntung di kota ini tak ada koruptor. Semua berjalan dengan aman-damai. Seaman dan damai bersantap di sini." Lelaki gempal-badak membalas sambil menghirup kopi yang bersisa sedikit di gelasnya.

Hening lagi. Kunikmati mie rebus dengan rasa lebih lezat dari rasa mie rebus yang pernah dicecap lidah ini. Aku seolah berjalan di atas air. Mengapung. Celoteh menjadi lantunan melodi yang menghanyutkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun