Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berebut Miskin

19 Januari 2019   10:59 Diperbarui: 19 Januari 2019   11:10 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hamidah dan dua anaknya yang masih balita, tak dapat lagi menghadapi hidup yang sedemikian susah. Semenjak Kirun, suami Hamidah, meninggal karena tertabrak kereta api, praktis kehidupan mereka tak karuan. 

Apalagi sekarang segalanya serba mahal. Minyak tanah sebagai salah satu kebutuhan harian, sengaja dinaikkan harganya, karena pemerintah tak memiliki hati nurani mendengar jerit kesakitan dari mulut-mulut orang serupa Hamidah anak-beranak. Jadi, mereka harus makan apa? Makan batu? Sepertinya tak bisa. Selain keras, batu  juga berharga mahal!

Mengenai BLT, Hamidah sama sekali asing. Meskipun rumahnya berlantai tanah, tak dialiri listrik dan nol besar dengan yang bernama perangkat elektronik, dia toh tak dapat lebel sebagai orang miskin. Arti  miskin di sini, berhak atas dana BLT yang sengaja digolontorkan pemerintah demi meredam kemarahan rakyat atas kenaikan harga bahan bakar minyak yang keterlaluan itu.

Sudah pasti perempuan yang satu ini tak memperolehnya. Dia tak mengenal dan tak mau dikenal perangkat desa yang bernama RT, apalagi sampai berurusan dengan lurah, pak camat maupun bupati. Dia tak memiliki keluarga yang terpandang. Sebab dia bersama keluarganya, hanyalah perantau. 

Seluruh familinya tinggal di Jawa, dengan catatan melarat-melarat juga. Oleh sebab itu tak ada yang berbaik hati memberinya kartu miskin. Alasannya, meskipun miskin, dia dianggap pendatang haram. Dia tak memiliki kartu keluarga maupun KTP. Karena dulu, ketika suaminya hidup, mengurus surat-menyurat itu alangkah sulitnya. Petugas pemerintahan bertele-tele, dan selalu menyentil dengan biaya yang mahal.

"Mak, adik lapar!" Anaknya yang berumur dua tahun mengelus busungnya. Dia bukan kenyang. Melainkan busung lapar.

"Mak, abang juga!" Anak sulungnya membalas. Dia meringis memegang perut yang hampir sekeras lutut. Tapi isinya bukan makanan, kecuali angin yang selalu keluar- masuk menghasilkan kentut.

Hamidah meringis. Dia melihat tetangganya berbondong-bondong menuju kantor pos. Mereka mau mengantri dana miskin bernama BLT. Mereka berbincang, akan bertemu dengan bapak bupati. Pasti nyamanlah menyalami tangannya yang dingin dan dermawan. Padahal tetangganya rata-rata orang berpunya. 

Seperti Pak Lebai, memiliki lima ekor kambing, kebun ubi jalar, sepeda motor kreditan, juga televisi berwarna. Berhubung masih berbesan dengan bapak lurah, otomatis jatah BLT didapatnya, karena si bapak lurah tak tahan mendengarnya bersungut-sungut terus. Bu Rahma yang berjualan manisan, pun mendapat bagian BLT. 

Alasannya dia janda. Walaupun janda berpunya, dengan anak-anak yang telah bekerja di sebuah pabrik kertas di dekat ibukota kabupaten. Lalu Sangkut, Hamid, Leli dan berbagai macam-ragam orang berpunya, aneh bin ajaib bisa mendapatkan BLT itu. Sekali lagi Hamidah tidak!

"Kita makan apa, Mak?" Anak sulungnya memelas. Hamidah memutar otak. Akhirnya diputuskan menempuh jalan terakhir, yakni mengambil ubi jalar di kebun Pak Lebai dengan cara mencuri. Prinsip Hamidah,, kalau kepepet seperti itu halal saja mencuri. Mereka membutuhkannya demi mengganjal perut yang sejengkal. Bukan untuk memperkaya diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun