"Mudah-mudahan Tuhan memberiku jalan terbaik, Len."
"Bersyukurlah kau, Sangkot. Ada lelaki yang berniat memperistrimu. Sedangkan aku, yah... entah sampai kapan." Perempuan itu langsung berlari, karena seseorang berteriak mengatakan, pelanggan Lenny sudah datang.
Nging-ngong suara nyamuk membuat posisi duduk Sangkot tak mantap di bekas bak truk itu. Sekali dia menghadap ke kiri, sekali ke kanan. Berulang-ulang pula dia menepuk nyamuk nakal yang mencoba menelusup di sela belahan roknya yang tinggi sampai selangkangan itu.
Saat hendak menyalakan rokok, tiba-tiba Sintong, lelaki yang telah dua kali menggaulinya, datang tergopoh. Wajahnya berkeringat.
"Hai, kau di sini rupanya. Ayo, cepat berlari."
Tanpa ba-bi-bu, Sangkot berlari mengikuti lelaki itu. Nalurinya cepat menangkap ada yang tak beres. Paling-paling ada trantib, dan kalau tertangkap, Sangkot siap-siap dijejalkan ke bak truk yang dipenuhi orang tangkapan. Dia juga harus siap-siap dicolak-colek atau dilecehkan petugas. Dan dia sangat benci. Karena untuk itu dia tak dibayar sama sekali.
"Kenapa, Tong?" cecar Sangkot ketika mereka berdua bersembunyi di belakang gedung kosong yang menghadap ke punggung rumah susun.
"Biasa! Ada penertiban di kafe. Aku tadi membawa ineks dua butir. Mau dijualkan, agar bisa membayarimu malam ini." Dia terkekeh. Ditawarkannya sebatang rokok kepada Sangkot. Namun perempuan itu menolak halus.
"Kau tak bertemu Parkijo?" Sangkot menutupi belahan roknya, agar naluri pejantan Sintong tak tersulut.
"Parkijo? Oh, tidak! Aku tak melihatnya. Tapi tadi pagi, dia kulihat sibuk di pasar. Entah apa yang dicarinya aku tak tahu."
Sangkot tersenyum. Pastilah Partijo hendak berbelanja barang bangunan untuk membuat gerobak jualan. Uang simpanan Sangkot memang sudah diberikan utuh kepada preman itu. Dan seminggu lagi, diharapkan gerobak selesai.Â