Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Si Gombak

11 Januari 2019   21:13 Diperbarui: 11 Januari 2019   21:51 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tak kenal si Gombak, preman wahid Pasar 16 Ilir? Tubuhnya besar serupa gajah. Perutnya tambun karena senang minuman keras. Sementara itu, dada, pinggang, dan lehernya bergelambir. Meski besar, tubuhnya cenderung gendut, nyalinya membanteng. Maka jangan sekali-sekali membantah perintah atau permintaannya. Tatkala dia sedang mabuk berat, dan selonjoran di gang pasar, kau juga harus menabikkan wajah setidak-tidaknya dengan senyuman. Kalau tidak, wajahmu bisa dikemplang memar-memar. Lebih parah lagi, perut bisa dilubangi dengan pisau cap garpu, lalu harus berurusan dengan rumah sakit umum. Gombak tak akan takut meski ditangkap aparat atas perbuatannya. Hanya hitungan bulan dia sudah bisa berkeliaran lagi di pasar. Sebab seluruh aparat kenal dan segan kepadanya.

Hidup Gombak dari hari ke hari hanya mengompas orang. Mengurusi anak bininya tak hendak. Dia tak peduli bininya yang sintal itu harus keluar masuk pasar dan lorong-lorong menjual penganan ala kadarnya. Dia tak mau pusing ketika subuh pulang mabuk, bininya telah menjadi sapi di dapur. Mengulen adonan, sampai menggorengnya di bara api yang membuat keringat melimpah. Anak Gombak tak bersekolah lagi demi menghidupi perutnya yang dekil dan kecil. Dia menjaja koran di simpang lampu lalu lintas. Dan yang paling memalukan, dia santai saja bilamana sang bini menjajakan penganan lain di sekitar BKB (Benteng Kuto Besak) di larut malam. Kau pasti tahu penganan apa itu! Dasar Gombak kampret!

Malam ini setelah memainkan drama satu babak bersama bini di bilik rumah kontrakannya, Gombak meliar ke Pasar 16 Ilir. Pikirannya buntu sebuntu koceknya. Siapa lagi yang bisa dikompas pabila malam telah larut, apalagi bergerimis begini? Padahal, perut Gombak telah keroncongan ingin dialiri minuman kunci atau topi miring. Teman-temannya sesama preman, sungguh tak bisa diharap berbagi kemabukan. Mereka sudah sejak maghrib berke-liaran di BKB karena ada tanggapan besar dari Jakarta. Dangdutan dengan biduanita seksi yang menari serupa bajing. Huek! Gombak benci itu. Bukannya tak bernafsu, malahan nafsunya menggila.

Lalu, hendak ke mana pelurunya yang menggelegak ditembakkan? Kepada sang bini, pastilah dia hanya mendapatkan punggung, sebab bininya telah lelah dan harus bangun dini hari. Mau ke lokalisasi, selain tak ingin penyakit joroknya kambuh lagi, dia juga tak memiliki cukup uang. Lagipula uang lebih baik dibelikan minuman.

Hmm, kesempatan emas! Tiba-tiba Gombak melihat seorang perempuan tua yang baru menggelar lapak sayurannya. Dia orang baru. Selama ini Gombak belum pernah melihat dia beroperasi di Pasar 16 Ilir. Jadi, patut dikompas sebagai perkenalan. Meski sudah renta begitu--karena harus dikasihani--lelaki berangasan ini tak peduli. Semakin renta semakin senang membentaknya. Dia tak mempunya kekuatan, selain repetannya yang panjang dan memekakkan telinga. Tapi, Gombak yakin perempuan tua itu tak akan berbicara banyak. Seluruh tubuh Gombak dipenuhi berbagai macam tato menyeramkan. Apalagi bila si belo, pisau kesayangannya dikeluarkan, praktis si perempuan tak bisa mengerem untuk terkencing-kencing.

"Uang... Cepat serahkan uangmu, Tua!" ancam Gombak. Si perempuan langsung pias. Buntelan kain di hadapannya langsung dia masukkan ke dalam tas. Gombak yakin isinya gumpalan uang. "Ayo, serahkan sedikit saja! Aku mau membeli minuman!"

"Maaf, Nak! Ibu baru sampai dari dusun. Masih penglaris. Tolong sejam-dua lagi kemari setelah pembeli ada."

"Aku tak peduli! Sinikan!" geramnya. Tangan gempal, gemuk dan liat itu langsung menjangkau tas si perempuan tua. Tapi, perempuan tua itu cepat mempertahankan haknya, sehingga terjadilah kejadian memilukan.

Gombak memukul dada perempuan yang pantas menjadi ibunya itu. Bunyinya ngek! Perempuan tua itu langsung terjengkang sambil bernapas sengau. Seorang penjaga pasar mencoba mendekat. Dia berusaha melerai perbuatan kasar lelaki yang tak berbudi ini. Namun bukan Gombak namanya bila mau dicegah begitu saja. Dia langsung membuka baju. Menunjukkan gelembung perutnya yang bertato kepala naga. "Apa kau mau turut campur? Hendak mampus?" Dia sengaja menonjolkan si belo yang terselip di pinggang.

"Bukan, Kak! Kasihan sama orangtua. Kalau mau membeli minuman, biarlah aku yang membayari Kakak," jawab si penjaga pasar takut-takut.

"Aku tahu isi kantongmu, setan! Sana, pergi jauh!" Gombak menarik tas perempuan tua. Mengaduk-aduk isinya. Setelah menemukan buntelan kain itu, dia mengambil uang sekitar seratusan ribu lebih. "Apa penglaris? Duitmu sudah banyak begini!" Dia menjejalkan buntelan kain yang masih digumpali sisa uang ke dalam tas. Tas itu dilemparkannya ke dada si perempuan, sehingga dia terjengkang untuk yang kedua kali.

"Masya Allah!" Perempuan tua hanya dapat mengelus dada. Sementara Gombak bergegas ke warung gerobak Cek Mok demi membeli sebotol topi miring. Dia ber-hay-hay dengan beberapa pedagang yang dia kenal. Mereka menjawab dengan tawa dibuat-buat. Padahal, hati mereka merutuk, kapan pula si Gombak bisa mampus. Kalau bertemu musuh sepadan, kiamatlah dia.

Gombak memanggil Masing tatkala sebotol minuman sudah dicekiknya. Mereka langsung pergi ke lorong gelap sambil menggelar kertas koran. Pesta pun dimulai. Masing-masing sudah membawa persediaan kacang goreng. Lengkaplah pesta, apalagi kawan Gombak ini pandai bernyanyi. Seperti di kafe saja. Gombak, Gombak! Dia sudah buta dunia. Dia tak tahu kalau bininya telah dicarter seorang panitia acara dangdutan BKB di hotel kelas melati. Tapi, andaikan pun dia tahu, paling tidak hanya kata "persetan" yang keluar dari mulut gimbalnya.

Tak cukup setenggak dua tenggak, minuman itu habislah sudah. Masing sudah menceracau, nyanyinya menjadi kacau. Dia sudah kenyang karena ulu hatinya terpilin-pilin alkohol. Sedangkan, Gombak masih kekurangan. Baginya, minuman keras sama dengan minuman ringan. Hanya menggeli-gelikan lambung. Tapi, demi membeli berbotol yang lain, dari mana lagi uangnya? Sisa membeli topi miring, rencananya membeli sate Padang sebagai pengganjal perut hingga subuh. Apa akal?

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua lelaki kebetulan melintas menuju Sungai Musi. Mereka berjaket hitam dan kelihatan rapi. Mungkin lipatan uang di dompet mereka juga rapi dan bersih. Nominalnya pasti berlebih demi membeli berbotol topi miring.

Terhuyung Gombak mengadang kedua lelaki itu.

"Ada minuman tidak?" tanyanya.

Kedua lelaki itu saling bersitatap. Mereka menggeleng pelan.

"Uang?"

"Ada! Tapi itu ongkos jet foil ke Bangka besok pagi. Sudahlah! Minggir sana!" Lelaki yang bertubuh gempal, menepiskan tangan Gombak.

Berdesir juga darah jawara pasar ini. Seumur-umur menjajah Pasar 16 Ilir, baru malam ini dia diperlakukan serupa sampah. Apa mereka tak pernah mendengar nama Gombak? Apa mereka tak takut pantangan Gombak apabila mencabut si belo dari pinggangnya? Jangan harap bisa dimasukkan kembali kalau ujungnya tak membasahi perut orang.

"Melawan, ya? Orang baru? Pendatang, ya? Kalian tak kenal si Gombak? Inilah dia di hadapan kalian!" Gombak membuka bajunya untuk kedua kali, setelah tadi dia mempertontonkan perutnya yang telanjang kepada penjaga pasar.

"Mau Gombak, mau Gembok, kami tak peduli!" Kini orang yang berbadan sedang menjawab. "Mau apa kau?!"

"Brengsek!" Gombak menghunus pisaunya. Namun, apalah daya orang mabuk? Selama ini dia bisa dengan mudah menujah perut musuh, karena musuhnya sudah lebih dulu ketakutan. Berbeda dengan dua orang di depannya. Mereka bukan pengecut. Si belo ditepis dan jatuh ke tanah. Mereka menghajar tubuh besar lelaki ini; bak, buk, bak, buk! Ternyata sakit juga. Untuk yang pertama kali, Gombak melolong. Apalagi dua orang itu mencabut pisau dari balik jaket masing-masing, kemudian menyabet tangan Gombak kanan dan kiri. Lelaki besar ini pun ambruk. Dia berteriak-teriak dengan napas sengal.

Dua lelaki itu langsung menghambur lari. Gombak mengerang-erang. Hingga tiba-tiba dia mendengar suara perempuan menjerit, lalu suasana menjadi gulita. Tatkala tersadar, Gombak sudah di rumah sakit umum. Gombak melihat se- orang perempuan menelungkupkan kepalanya di kasur, persis di ujung kaki kirinya. Siapakah dia? Orang itukah yang menolong si bengal ini? Kenapa bengal harus ditolong? Mampuskan saja biar tahu rasa!

"Syukurlah bapak sudah sadar! Tangan bapak yang luka juga sudah kami jahit. Beruntung bapak cepat dibawa ke rumah sakit oleh ibu ini. Kalau tidak, bapak akan meninggal karena kehabisan darah," ucap seorang perawat yang tanpa disadari Gombak berada di sisi kanannya sedari tadi. "Kalau begitu, saya pergi dulu, Pak!"

Gombak mengeluh. Dia menggerak-gerakkan kakinya agar perempuan yang tertidur di ujung kasur itu terbangun. Dia ingin mengetahui siapa sebenarnya yang mau mem-bantu seseorang yang dikutuk orang banyak biar cepat mampus.

Namun, ketika perempuan itu mengangkat wajahnya dan tersenyum ramah, Gombak langsung terkejut bukan main. Perempuan itukah yang menolong orang jahat seperti dirinya? Oh, Tuhan! Ternyata dia adalah perempuan tua yang dikompasnya tadi. Perempuan di lapak sayuran. Betapa mulia hatinya.

"Ibu?!"

"Syukurlah, Nak, kau sudah sadar!"

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun