"Diet?"
"Iyalah!"
***
Kau tahu, setelah pagi itu, dia datang lagi menemuiku menjelang jam sembilan malam.
"Tak bisanya beratku berkurang, Rif. Padahal aku sudah berolahraga sampai dua jam penuh."
"Ya, sudah pasti tak bisa instant begitu, Ci. Semuanya harus perlahan dan konsisten."
"Tapi aku tak sabaran. Apalagi aku harus diet segala!"
Aku tersenyum. Cara terbaik dan ternakal adalah yang seketika terbit di otakku. "Bagaimana kalau dengan pencuci perut? Itu lebih tokcer."
Dia langsung memelukku. Ide gila yang kulontarkan, kiranya menjadi rahmat yang tiada terkira baginya. Besok paginya aku langsung membelikan dia obat pencuci perut. Hasilnya dapat ditebak. Dia terkapar di kamarnya. Dia tak bisa masuk kerja sampai tiga hari. Ketika bertemu aku dengan wajah kuyunya, dia berucap, "Matilah aku dibuat obat pencuci perut itu!"
"Lah, tapi itu yang kau mau!" aku hampir menangis karena terlalu deras tertawa saat dia mengatakan bahwa tukang cuci pakaian marah-marah. Selain pakaiannya bertumpuk segudang, baunya lumayan menyengat.
"Aku terpaksa menambah tips sekian kali lipat kepada Bibik itu. Kalau tidak, berhentilah dia mencuci pakaianku."