Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ruang Hambali

9 Januari 2019   10:57 Diperbarui: 9 Januari 2019   11:13 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihat jalanan itu mulai mengabur. Sempat kudengar seseorang berteriak, sebelum semuanya terasa gelap dan hening. Ketika terbangun, aku telah terbaring di sebuah tempat yang asing. Ruangan putih bersih. Ruangan yang digelayuti tiga buah lampu. Angin dingin yang berhembus dari sebuah jendela, terasa segar membawa wangi bunga. Sayang aku tak bisa berdiri, mendongak keindahan di luar ruangan. Kepalaku terasa amat berat. Menggerakkan leher saja susah bukan main. Kepala seperti dipukul godam sekiloan, sehingga mataku seringkali lamur.

Beruntung tiba-tiba pintu berderit, serta seraut wajah ramah, muncul di dalam ruangan. Dia seorang lelaki tua berkepala nyaris plontos. Begitu dia berada di sebelahku, tercium bau obat-obatan dari seragam putihnya. Dia sebentar hilir-mudik dari meja di sebelahku ke sebuah rak kecil berpintu kaca yang menempel di dinding. Setelah meletakkan beberapa butir pil di meja sebelahku, lalu sebotol obat sirop, barulah dia menyapaku dengan ramah.

"Pak Hambali sudah siuman rupanya. Hmm, kondisi anda kelihatan segar-bugar. Tak lebih seminggu lagi, anda sudah bisa fit seperti semula. Ya, anda mulai disibukkan pekerjaan sehari-hari. Bertemu dengan keluarga yang sangat anda rindukan." Dia terdiam sejenak. Dia memeriksa detak nadi di pergelangan tanganku. "Anda masih memiliki keluarga, kan?"

Selintas wajah seorang perempuan menampar ingatanku. Lalu, seorang bocah dengan rambut panjang diekor kuda. Ach, aku pasti sangat merindukan mereka! Tapi sungguh, aku tak ingat siapa mereka. Aku tak ingat nama mereka. Apakah kedua sosok yang melintas di benakku itu, bisa disebut sebagai keluargaku?

"Aku tak ingat apa-apa, Pak!" Bibirku bergetar.

"Ya, barangkali pengaruh obat." Dia menuliskan sesuatu di notes kecil, lalu manggut-manggut. Sementara aku mencoba mengingat kejadian sebelum aku masuk ke ruangan ini. Namun begitu kuat aku mencoba mengingatnya, sekuat itu pula rasa lupa memerangkapku

"Kenapa aku harus di sini, Pak?!" seruku. Aku mencoba mendesak lelaki itu membeberkan misteri yang menimpaku, sehingga aku terdampar di ruangan putih-bersih ini. Sayang, sama sekali aku tak melihat niat baiknya untuk berbicara jujur. Dia hanya mendekati jendela, lalu merapatkan gorden sedikit. Cahaya matahari yang menerobos, seperti membuatnya silau. Saat kembali berdiri di sebelahku, dia hanya memaksaku dengan matanya supaya menghabiskan butiran obat dan sesendok sirop.

Aku mencoba menolak. Tapi tubuhku tak mau berontak, selain mulut membuka, membiarkan seluruh obat-obatan itu merangsek ke mulut. Lalu, bertahta, berputar-putar di perut. Di ulu hati yang tiba-tiba serupa magma yang menolak ingin meledak.

Mengetahui kondisiku, si lelaki menjejaliku segelas air putih, sehingga magma di ulu hati tak jadi meletus. Selebihnya, dia hanya mengatakan akan lebih sering menemuiku. Kemudian dia berlalu di balik pintu yang berderit, sehingga seluruh rahasia yang membingungkanku sama sekali tertutup.

* * *

Dua hari berselang, akhirnya aku dapat menggerakkan badan, lalu tertatih menuju jendela. Namun hanya kekecewaan menemuiku di sana. Aku berharap di luar sana ada taman dengan bunga-bunga bermekaran. Di seberangnya jalan setapak yang dilalui berpasang kekasih yang sedang memadu kata. Di seberangnya lagi, sepetak lapangan tempat bermain bola. Ach, sayang aku hanya berharap! Di luar jendela itu hanya ada dinding setinggi hampir tiga meter, yang dibatasi sebuah parit selebar dua meteran dari ruanganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun