Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepak Burung Merah

8 Januari 2019   16:38 Diperbarui: 8 Januari 2019   22:17 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari cukup cerah. Kemudian hujan turun. Bermula gerimis, lalu menderas seakan ditumpahkan dari langit. Sekitar bandar udara sedikit berkabut. Dingin menggigit. Kurapatkan jaket membetot badan.

Selintas wajah Pa Tua membayang di mata. Sepuluh tahun lamanya kami tak bertemu. Dia ayahku. Akan terdengar geli bila aku menyebutnya Pa Tua, bukan ayah. Tapi panggilan Pa Tua lebih cocok di lidahku. Usia kami terpaut jauh. Ketika aku lahir, dia hampir lima puluh lima tahun. Dan aku adalah anak paling buncit dari istrinya yang paling buncit. Pa Tua itu  Don Juan. Istrinya lima.

Tujuanku bertemu dia di negeri Singa, bukan sekadar  ingin melepas kangen. Lebih tepatnya ingin mempelajari ilmu pengasih. Bagaimanapun, di usia dua puluh lima tahun, dia telah memecahkan rekor beristri tiga. Di atas usia tiga puluh tahun, sebelum berkepala empat, dia beristri lima. Sedangkan aku, menjelang empat puluh tahun, pacar saja pun tak punya. Konon lagi mau menikah. Kepergianku ke negeri Singa, pun tanpa sepengetahuan Ma Muda, ibuku. Pa Tua dan Ma Muda sudah bercerai sekitar sembilan tahun lalu. Penyebab utama, Pa Tua menikah diam-diam dengan perempuan berwajah oriental dan bolak-balik Indonesia-negeri Singa.

"Kami sedang menunggu Anda. Anda Pak Safran, kan?" Seorang perempuan berbaju terusan corak batik, tersenyum di hadapanku. Aku gelagapan. Membetulkan posisi leyeh-leyeh di kursi ruang tunggu. Kemudian meraih tas jinjing berukuran sedang. Sebelum meninggalkan perempuan itu, kuucapkan terima kasih dengan kesan malu-malu.

Di lapangan udara, burung merah itu sabar menunggu. Kuturuni beberapa tangga sebelum akhirnya buru-buru menerabas hujan. Salahku terlalu lama melamun. Salahku seperti tuli ketika orang yang memanggilku dari speaker habis kesabaran.

Masuk dari pintu di ekor burung merah, aku duduk di bangku bagian tengah, sesuai nomor tiket. Seorang perempuna muda, juga seorang perempuan setengah baya, masing-masing mengapitku. Kupikir mereka satu keluarga, atau mungkin teman. Tapi aku merasa bodoh setelah mereka mengatakan bahwa burung merahlah yang mempertemukan mereka. Ya, mengapa pula mereka harus duduk dipisahkan bangkuku, kalau memang mereka satu keluarga atau teman.

Tak ada perbincangan selanjutnya. Perempuan muda itu sibuk mematikan gadget. Aku tersenyum. Sudah hampir tiga jam kumatikan handphone sebab takut ditelepon Ma Muda. Perempuan tua itu mengeluarkan kaca mata tebal dari saku baju hangat. Lalu membuka lembaran buku yang dikepitnya di ketiak sedari tadi.

Harusnya aku lebih banyak berbincang dengan perempuan muda di sebelahku. Tapi aku bukan tipe perayu, terlebih tipe pengganggu. Melihatnya menguap, lalu menyenderkan kepala di sandaran kursi, tentu tak pantas mengajaknya berbicara. Misalnya dengan menawarkan sebatang coklat atau beberapa butir permen di balik saku jaketku. Dia pun terpejam. Entah tertidur. Malah kemudian, perempuan tua itu yang memulai perbincangan, sesaat pesawat terbang landas menembus awan tebal.

Ada getaran. Hentakan. "Kejadian ini selalu membuatku takut," kata perempuan tua itu. Perempuan muda di sebelahku mendengkur halus, seolah tak merasakan apapun. "Tapi setelahnya, kembali biasa."

"Tenangkan hatimu, Bu." Kuusap punggung tangannya. Buku yang dibacanya, jatuh ke lantai burung merah. Kuraih, dan kuletakkan pelan di pangkuannya. "Aku teramat sering mengalami hal yang demikian. Tapi percayakan saja semuanya kepada pilot. Mereka telah lihay."

"Bukan percayakan kepada Tuhan?" selanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun