Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu I

2 Januari 2019   16:45 Diperbarui: 14 Januari 2019   16:53 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Juga bagi Kecik. Meskipun dia selalu dihajar oleh Boy, tapi hatinya terpaut ke rumahnya yang penuh kenangan. Dia sedih meninggalkan tempatnya bernaung sehingga sebesar sekarang. Juga, ibu Lila yang tulus-ikhlas menyayanginya. Membelanya dari sang durjana, Boimin.

Ya, begitupun, perpisahan tetap menimbulkan kesan lain ketika tiba pertemuan. Perpisahan menimbulkan rasa kasih-sayang yang semakin tulus. Seorang Kyai akan bertambah cinta kepada istrinya. Seorang Kecik akan bertambah sayang kepada rumah dan Ibu Lila. Entah kepada Boy.

Ya, ya... Cukup sudah berderai-derai cerita dan air mata. Kecik membuang pandang manakala melihat terbit air mata istri Kyai, saat suaminya itu memeluknya seolah tak ingin dilepas. Lalu lambaian melepaskan kedua calon petualang ke alam bebas dan liar. Semua berkejaran ke belakang.  Semua seolah ikut melambai. Kyai Ali mengantarkan Kecik ke perbatasan antara kampung dan jalan lintas provinsi. Selanjutnya dia bergegas menuju rumah Leman.

"Pukul berapa ini?" sungut Sujak Pelor menyambut Kyai Ali yang muncul dari belakang truk. "Kau sempatkan kelonan dengan istri lagi?" Meskipun Sujak sudah berubah lebih baik, bicaranya tetap kasar dan pedas. Tapi Kyai Ali yakin hatinya baik. Dia menanggapi ucapan keras dan pedas itu dengan senyuman.

Seperampat jam berlalu, truk mulai berjalan merayap di jalan kampung yang terbuat dari pasir dan batu. Perlahan pula semua mengantri di halaman penggilingan padi Juragan Arman. Berkarung beras berpindah dari gudang penggilingan ke dalam truk.

Kyai Ali tersenyum sendiri. Dia melihat para buruh angkut tertunduk-tunduk memanggul karung. Begitulah pekerjaan yang dia lakukan beberapa hari lalu. Sekarang tak lagi. Dia menjadi penguasa truk. Pengelana yang menyinggahi tak hanya kampung demi kampung, juga kota demi kota. Lepe,  temannya sesama buruh angkut, menyempatkan diri bersalaman dengan Kyai. Dia senang melihat Kyai mulai belajar menjadi  orang sukses.

Pukul sebelas lewat barulah semua beras selesai diangkut ke dalam bak masing-masing truk. Iring-iringan itu kembali merayap melintasi jalan pasir dan batu.  Kyai Ali berkenalan dengan lelaki gempal yang duduk di antara dirinya dan Sujak. Lelaki gempal itu adalah sopir pengganti saat Sujak capai.

Dia menyebut namanya Lobe. Dia tak banyak omong. Tapi mulutnya tak berhenti mengisap rokok kretek. Jadilah kabin truk dihalimun asap. Kalau saja Sujak tak menegur, mungkin belum dihentikannya pekerjaan yang membuat dada sesak itu.

"Sudah kabut di depan, kau menambahi pula dengan kabut rokokmu!" gerutu Sujak.

"Maaf, soalnya mulutku pahit. Mata rasanya kriyep-kriyep kalau tak merokok."

"Bilang saja mengantuk! Tidur sana! Jangan sampai saat menggantikanku menyetir, kau tabrakan pula truk ini oleh kantukmu." Sujak membanting setir ke kanan karena menghindari lubang menganga di depan. Lobe menanggapinya dengan bernyanyi-nyanyi kecil. Dia berdiri sambil merunduk-runduk menuju jok di belakang. Sekian menit saja hanya dengkurnya yang kedengaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun