Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Deru Debu I

2 Januari 2019   16:45 Diperbarui: 14 Januari 2019   16:53 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pelariannya, Kecik akhirnya tersungkur di depan sebuah rumah semi permanen. Seorang lelaki  dengan dada berbulu, gegas mendekatinya. Dia memapah anak itu masuk ke dalam rumah. Seorang perempuan berkulit terang, keluar membawa segelas air, baskom berisi es dan kain lap. Dia istri lelaki itu.

"Kau dihajar lagi?" Lelaki itu mengusap ujung bibir dan kulit wajah Kecik yang  kebiru-biruan. Kecik mengangguk sambil mengaduh.

"Iya, Kyai! Siapa lagi pelakunya kalau bukan Boimin brengsek itu!" Lelaki itu dipanggilnya Kyai. Bukan berarti dia seorang kyai seperti ghalibya. Hanya gelar-gelaran saja. Dia paling senang menasihati orang dan berbincang tentang agama. Tapi menjalankan ibadah dia malas. Maka, orang-orang berseloroh memanggilnya Kyai. Entah kenapa, hingga sekarang nama itu begitu lekat di depan nama aslinya; Kyai Ali.

"Tak baik mengata-ngatai ayah sendiri! Berdosa!"

Kecik meneguk sedikit air di dalam gelas. Dia mengaduh. Perih sekali air mengalir di sela-sela bibirnya. Andai  tubuhnya sebesar dan setinggi Boy (nama kerennya, karena nama asli si ayah adalah Boimin), sudah lama dia menghajar lelaki itu. Dia sebenarnya tak mau durhaka. Tapi bagaimana bisa tahan dengan perlakuan demikian?

"Ayah macam apa dia? Sudah kasar, tak pula peduli sekolahku. Aku hanya disekolahkan sampai kelas empat SD. Sekarang Kyai tahu kan kerjaku sehari-hari? Selain mengisi bak mandi dan mencuci piring, hampir setiap malam aku membersihkan lantai karena Boy selalu pulang dalam keadaan mabuk." Hidung Kecik mengembang. Panggilan istri Kyai Ali agar mereka berdua makan siang, seakan panggilan surgawi. Tahu saja kalau orang lagi lapar berat!

Kecik duduk berseberangan dengan Kyai Ali. Istri Kyai tak ikut makan. Dia harus mengurusi bayinya yang tiba-tiba menangis. Sepasang suami-istri itu baru tiga bulan lebih dikarunia anak. Ya, cukup lama juga menunggu kehadirannya. Hampir duabelas tahun. Jadi, selama ini Kecik-lah yang mereka anggap sebagai penghibur lara.  Entah setelah mempunyai anak, apakah mereka akan mendepak Kecik. Siapa yang bisa menebak?

"Sedap juga makanan Kyai siang ini. Ada ayam goreng, semur empela, sambal terasi, telor sambal. Boleh nambah ya?"

"Suka-sukamulah! Asal perutmu tak pecah saja. Apa mau diganti dengan pantat kuali?" Mereka tertawa. Sedikit hilang kegundahan Kecik.

"Ada acara apa hingga kita bisa makan besar begini?" Kecik mengekori Kyai. Telah bersinar matanya. Perutnya mengeras karena kenyang.

Kyai duduk di bale-bale teras. Rokok kretek dinyalakannya. Dia menghisap dalam-dalam, dan menghembuskannya sembari mendecak-decak. Mungkin ada serpihan daging  menyempil di sela-sela giginya yang jarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun