Wajahmu bersemu merah ketika dilahap mata Sapto. Kau jengah, apalagi melihat jambangnya yang rapi. Kulit liatnya, dan dengus kuda paling binal sejagat. Aku yakin seribu persen, kau akan menerimanya, terlihat dari tingkahmu mempermainkan anak rambut. Kebiasaan lama yang tak sanggup kau tinggalkan
Sekilas kau melihatku, entah untuk apa. Apa mungkin kau ingin membanggakan bahwa kalian sudah jadian? Atau ingin mengejekku si terkutuk jomblowan? Ya, aku akui level kegantenganku amat jauh di bawah rata-rata. Aku lebih suka bermurah senyum ketimbang menggombal cinta. Sementara menurut Sapto, setiap perempuan paling suka digombal. Apakah kau salah seorang dari perempuan itu? Aku amat kecewa!
Seperti kecewa melihat kalian bersanding di pelaminan. Saling suap nasi tumpeng, Â tersenyum ceria. Kau melambai menyombongkan diri, mungkin.
Seperti  kecewa melihat kalian dua tahun setelah menikah di sebuah pusat permainan. Ada bocah kecil berjalan tertatih. Dia bijak sekali menyalamiku, menyapa dengan buih di mulut beradu teriakan girang. Aku luka.
Entah kenapa kemudian kita ditinggalkan sebentar oleh Sapto. Di atas bangku kita seolah membagi senyum. Sembari sibuk mengurusi anakmu, kau bertanya tentang aku. Jawabku aku masih menjomblo. Lesung pipimu mengumbar geli.
"Kau memang salah, Amar. Â Padahal sejujurnya," kau terlihat mencoba menyembunyikan sesuatu.
"Mencoba apa....?"
"Aku..."
Cut!!!
Sapto menyetop perbincangan itu. Dia menarik tanganmu. Kalian berdiri di sudut ruangan. Anakmu sibuk menunjuk gerai es krim. Sapto menggeleng. Mengurungkan ucap. Dia membeli es krim. Anakmu terdiam. Kalian pun berbincang serius. Sesekali Sapto agak emosi melihatku. Entah sebab apa. Apa dia cemburu?
Pertemuan itu pun hambar ketika kalian melambaikan tangan ragu-ragu karena ingin berpisah denganku. Sementara aku masih penasaran apa sambungan perkataanmu.