Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Kali di Rumah Sakit

28 Juni 2021   09:33 Diperbarui: 28 Juni 2021   09:44 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Di ruangan bercat putih lembut berukuran hampir empat kali lima meter itu---hanya perkiraan matematis saya yang cenderung payah---ada enam dipan besi. Dipan di sebelah kanan saya berpenghuni seorang lelaki tua dengan pandangan kosong. Ogah bicara seakan bisu. Barangkali dia tidak mempunyai mulut! Namun, saya keliru ketika mendengar dia terbatuk. Itu berarti dia mempunyai mulut. Dari mana asalnya dia batuk kalau tidak dari mulut?

Dipan di sebelah kiri saya terbaring seorang lelaki sekarat. Sejak saya menghuni bangsal ini, dia sering mengaduh, mendelik-delik. Beberapa kali megap-megap seakan ikan mas koki berada di dalam akuarium tanpa air. Saya kasihan melihat perempuan setengah baya yang sedang menjaganya. Tidak adakah yang bisa menggantikan tugasnya? Dia bisa jadi  tak mempunyai anak. Ataupun jika ada, dia itu anak durhaka. Saya perhatikan sejak semalam perempuan itu selalu tegak. Mengelap keringat dan menyabarkan suaminya. Mungkin perempuan itu berharap suaminya berhenti sekarat, bisa maksudnya hidup, bisa juga mati. Lalu, dia tak perlu tegak terus seperti tiang bendera. Sesekali dia memang berhasil mencuri duduk, tapi suaminya seakan tak rela, lagi-lagi mengaduh.

Tiga dipan berjejer di ujung kaki saya, mulai dari kanan, berpenghuni lelaki yang selalu batuk. Saya curiga dia lebih banyak batuk ketimbang bernapas. Dia kurus, bermata cekung dan pipinya kempot. Andai saya meletakkan dua koin, satu di pipi kanan, satu di pipi kiri, mungkin koin itu tak akan menggelinding jatuh.

Di sebelah kanan lelaki itu, tepat berseberangan dengan kaki saya, ada dipan kosong, bersih dan rapi. Tak ada seorang pun penjaga pasien yang berani duduk apalagi rebahan di situ. Bukannya takut kepada suster. Jam sepuluh malam tak akan ada lagi mereka  yang berkunjung kecuali dipanggil penjaga pasien asbab ada masalah dengan selang infus, misalnya. Maka ruangan cenderung sunyi. Suara batuk lelaki itu yang membuat ramai, juga lelaki sekarat, terus-terusan mengaduh.

Saya bergidik ketika tahu cerita dipan kosong itu. Kemarin penghuninya telah mati akibat meminum minuman keras oplosan. Menjelang kematiannya, kata mereka---maksud saya para penjaga pasien---dia  muntah darah secambong. Saya membayangkan lelaki kurus berjambang, menyentak-nyentak sebelum mengembuskan napas terakhir.

Dipan di seberang  kiri kaki saya, dihuni lelaki ganteng dan masih muda. Didampingi penjaga perempuan muda lagi cantik. Saya menebak mereka baru menikah. Sial sekali, rencana bulan madu di kasur empuk, digantikan dipan besi yang kasurnya panas dan keras. Mereka menjadi masalah bila berbuat "macam-macam". Ada empat, maksud saya tiga pasien di ruangan ini yang memiliki mata dan libido seks, pengecualian lelaki yang sedang sekarat di sebelah kiri saya. Ditambah tiga penjaga pasien, maka  lengkap sudah sepuluh pasang mata.

"Bapak tidak ada yang menjaga?" Eh, saya semakin keliru, ternyata lelaki di selah kanan saya selain mempunyai mulut  juga tidak bisu. Saya pikir dia hanya ingin menyenangkan hati. Kami sama-sama sebatang kara. Saya tak ingin dia berpikir begitu. Saya katakan istri saya sedang ada urusan penting di luar kota. Mungkin dia akan bekunjung sejam-dua lagi. Wajah lelaki itu mendadak suram padahal semula cerah. "Ooo."  Hanya itu yang dia katakan, lalu kembali diam serupa patung.

***

Sampai jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi tepat, di mana ramai pembesuk, tapi istri saya tak muncul-muncul juga. Lelaki di sebelah saya mengejek dengan senyumnya. Sebetulnya dia sama sekali tak tersenyum. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sayalah yang salah berprasangka buruk.

Orang sekarat di sebelah kiri saya tiba-tiba tak rewel lagi. Mungkin capek mengaduh dan megap-megap terus sejak tadi malam. Saat itulah istrinya bisa leluasa duduk di kursi. Dia terlihat capek. Kuyu. Bisa saja dia ingin terlena sekejap-dua. Namun, saya mengganggunya dengan obrolan ngalor-ngidul. Mulut saya pahit kalau hanya membisu terus.

Nama perempuan itu Parkiyem, seorang istri  muda alias istri kedua lelaki itu. Berarti prasangka saya bahwa mereka sepasang suami-istri, benar. Saya memang jago menebak-nebak. Perempuan itu mengatakan istri pertama lelaki itu sudah mati saat mereka menikah. Saya ralat prasangka jahat bahwa suaminya yang sekarat itu penggatal. Ternyata tidak. Meskipun ada rasa kesal di dada ini penyebab lelaki itu sekarat, tapi sebelumnya kita bahas dulu penyebab istri pertamanya mati. Istri kedua itu memperkirakan kematiannya mutlak makan hati. Parbalun, lelaki yang sedang megap-megap dan sekarang tidur lelap itu, pemabuk berat. Istri pertamanya yang banting tulang bekerja cuci-gosok. Sementara Parbalun kerjanya pulang-pulang hanya membawa bau mulut busuk, dan sesekali muntah, sesekali menceracau atau bercakap kotor. Istri petama kurus-kering, dan setelah itu mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun