Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Kurma

[Fiksi Ramadan] Sarung

14 Mei 2020   16:44 Diperbarui: 14 Mei 2020   16:41 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : bukalapak

Senja rampung. Selepas berbuka.  Dia memarkirkan gerobak berisi tumpukan kardus di halaman masjid di bawah pohon akasia meranggas. Dikecupnya pelan ubun-ubun seorang bocah. Sehelai kain sarung warna biru motif kotak-kotak, menyembul dari tas butut yang dia sandang. Kami bersitatap, saling melempar senyum. Ini Maghrib kesepuluh.

Kebiasan buruk, dia selalu berdiri di sebelah saya, pada shaf ketiga, persis di bawah kipas angin yang ngebut. Kalau tidak di kiri, ya, di kanan. Bau angit pasti menguar, mengganggu kekhusyukan shalat saya. Bau angit  dari sarungnya yang mungkin mutung dibakar matahari seharian. Beberapa sobekan di sarung itu menyembulkan kulit pahanya, mengintip malu-malu.

Akhirnya cukup sudah saya memendam geram. Saya hempaskan peci di atas meja. Duduk di sebelah istri dengan wajah berlipat seperti dompet tanggung bulan. Semangkok kolak dingin mencoba menenangkan hati saya, tapi sama  sekali tak bisa  saya resapi rasa nikmatnya. Wajah lelaki itu berpusing di kepala. Siapa sih nama orang itu? Ya, Sanif. Apa dia belum tahu kalau shalat di masjid itu tidak boleh menganiaya jamaah lain? Bau sarung angit itu lho! Apa juga dia belum tahu, tidak akan sah shalat seseorang apabila auratnya kelihatan.

"Oh, pasal itu toh maka aura wajah bapak  lebih pahit dari rasa kopi paling pahit," jawab istri ketika akhirnya pertahanan saya jebol. Geram itu melimpah. Kami berdua sedang berada di kamar. Baru saja selesai Shalat Tarawih. Saya rebahan. Istri melipat pakaian di bakul, lalu memasukkannya ke dalam lemari.

"Apa guna dia shalat di masjid kalau hanya membuat saya geram?"

Istri tertawa lirih. Dia melempar saya dengan selembar sarung yang masih rapi. Sarung itu pemberian Haji Kanan. Oleh-oleh dari Mekkah. Sarung kesayangan saya, tapi baru akan dipakai pada Shalat Ied nanti. Itu pun kalau jadi digelar di lapangan dekat  masjid.

"Daripada bapak geram, kasih saja sarung itu untuk dia."

"Sarung ini mahal, Bu. Saya saja belum pernah memakainya."

Istri memberi petuah panjang-pendek. Saya selalu tidak bisa membantah lagi kalau demikian. Besok harinya, selepas berbuka, saya menemui Sanif di dekat gerobaknya. Sarung itu berpindah tangan. Sanif menyalami saya. Mencium tangan dengan rakusnya. Saya tersenyum jengah. Buru-buru menarik tangan. Sebelum dia tersinggung, saya bercanda, "Maaf, Pak Sanif. Ini lagi musim Corona." Dia pun tertawa.

Sepulang shalat, hati saya belum lega pasal sarung itu. Meski tadi saya lebih khusyuk shalat karena minus bau angit. Sanif juga lebih sah shalatnya karena tidak ada auratnya yang mengintip.  Tapi, ya, barang yang paling kita sukai, memang amat berat melepaskannya ke tangan orang lain.

"Hai, Pak Arman. Sini sebentar." Itu suara Haji Kanan. Dua buah kotak, dia serahkan kepada saya. "Ini untuk bapak-ibu. Oleh-oleh sarung dari anak saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun