Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Lorong Rona] Hari Ketiga

3 April 2020   15:58 Diperbarui: 3 April 2020   16:01 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Hari Pertama, Hari Kedua

Pulang dari kantor aku amat lesu, sedikit menggigil. Aku ingat-ingat dengan siapa saja aku bertemu siang tadi. Apakah aku salaman atau pelukan? Atau lebih jauh lagi sampai cipika-cipiki? Aku teringat wabah yang menyerang seantero kota, terbayang ruang isolasi, bau obat, dan bunyi-bunyi menakutkan; tit, tit, tit!

Ketika aku melintas di lemari pajangan, tetiba pikiranku tentang wabah itu  lenyap. Istri memang hobi memajang patung tak utuh, terkadang setengah badan manusia, tak jarang setengah badan binatang. 

Pernah sekali aku  mencereweti kenapa dia tak memajang patung secara utuh. Dia menjawab enteng, sudah diwanti ayahnya agar  jangan pernah memajang patung secara utuh. Pamali! Apa alasan maka pamali, dia tak memberi tahu. Aku pun tak mau tahu, apalagi ingin mencari tahu. Hanya saja aku mendadak ingin tahu---kata anak muda kepo--- lebih jauh tentang sepotong bibir bawah yang dipajang di lemari itu.

Bibir siapa gerangan? Apakah contoh bibir Sutinah? Aku terkenang seorang bakul jamu bahenol. Perempuan pemilik senyum menggoda mengalahkan istriku. 

Perempuan yang tak hanya memiliki jamu penguat kejantanan, tapi sekaligus pemilik tubuh penggoda kejantanan. Ya, mungkin yang di lemari itu semacam bibir---bukan bibit--- percontohan  dari bibir seorang penjual jamu.  

Namun benarkah? Aku hapal urat-urat bibir Sutinah. Bau bibirnya yang kunyit-kunyitan. Ah, bibir di lemari itu bukan milik Sutinah. Aku yakin seratus persen.

Lalu apakah itu "Bibir Mer", yang filmnya pernah kutonton? Meski saat menonton film itu berdua istri di tivi flat, lebih separuh durasi kuisi dengan bunyi dengkur, toh aku tetap hapal "Bibir Mer" yang merah menggoda. Hmm, aku yakin itu bukan seperti miliknya.

Atau apakah itu contoh bibir Tia, Ria, Sia, Lia, Mia, Nia, atau Dia? Sepertinya mustahil. Istriku pasti tak tahu karena mereka semua mantan pacarku dari SMP hingga kuliah.

Aha, aku baru ingat bibir Poppy, tetangga baru yang juga instruktur senam di Lorong Rona. Jujur, dari dulu--maksudku sejak kami kuliah---aku amat terobsesi bibirnya. Tapi tolong jangan pernah mengumbar cerita ini kepada istriku. Bisa berabe.

Benarkah itu bibir percontohan milik Poppy? Ah, sepertinya mustahil bibirnya sedikit menghitam akibat nikotin. Lalu bibir siapa? Aku perlahan menuju dapur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun