Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Cinta Monyet Sang Loper

7 November 2019   16:16 Diperbarui: 8 November 2019   06:54 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay

Oh, Tuhan! Ternyata setelah asyik membaca di bawah pohon mangga, aku baru ingat belum tahu siapa namanya. Bodoh sekali! Apa yang harus kulakukan ketika melihat dia, tapi dia tak melihatku. Apakah dengan kata; hey! Itu tak sopan, kan? Tentulah di hari ketiga kami bersua, aku langsung menembaknya. Dia bernama Mike.

"Bukankah itu nama cowok," selorohku. Dia merengut manis sekali. Ingin aku mencubit pipinya.
"M-i-k-e! Bukan Maik!"

"Oh, aku lupa karena terlalu lama tinggal di Inggris," dia menjulurkan lidah. "Kau juga bukan alat pengeras suara, kan? Maksudku michrophone." Dia habis-habisan memukul bahuku. Aku tergelak senang. Hari-hari selanjutnya aku tak dapat menghitung berapa kalimat yang menghambur dari mulut kami. Mike itu orang baru di kampungku. Ayahnya seorang opseter atau lebih tepatnya kepala PU.

"Kami baru sebulan di sini," katanya.
"Kenapa aku tak tahu, ya?"
"Apa kau ketua erte yang harus tahu siapa saja wargamu?"

Hmm, ternyata Mike satu kelas denganku. Maksudku sama-sama kelas satu. Dia satu lima, sedangkan aku satu dua. Aku sering memboncengnya ke sekolah bila ayahnya sedang ada halangan. Saat itulah aku memutuskan menjadi penyair. Tepatnya penyair cinta. Satu syair per hari aku setor kepadanya. Mungkin dalam setahun bisa tiga ratus syair karena dipotong hari libur.

"Aku suka syairmu." Dia mengacungkan jempol. Kami sedang membaca majalah remaja di bawah pohon mangga.

Aku suka kamu, kataku hanya dalam hati. Aku belum mampu mengungkapkannya. Setelah duduk di kelas dua esema barulah aku mengatakan cinta kepadanya. Ketika ayahnya mengetahui aku mencintai putrinya, dia mulai kasak-kusuk memisahkan kami. Bisa apa aku sehingga berani sekali mendekati Mike? Apakah dia bisa kunafkahi dengan syair-syair?

"Hloh, kita kan masih pacaran. Bukan ingin menikah," aku tergelak.
"Tapi Ayah ingin kita berpisah."
"Bagaimana denganmu?"
"Sama sekali tak ingin berpisah." Mendengar komitmen itu, aku ingin memeluknya. Sayangnya aku belum mendapat SIM A alias surat izin memacari anaknya dari ayah Mike. Dan lebih menyakitkan, beberapa hari setelah itu kami akhirnya berpisah. Tentu bukan lantaran kearoganan ayahnya, melainkan si ayah dimutasikan ke daerah Jawa.

***

Pak Yusak masuk ke ruangan kerjaku sembari tertunduk-tunduk. Segera kumatikan laptop, lalu mematah-matahkan jemari tangan. Capek sekali rasanya! Tapi aku berhasil merampungkan editan draft novel itu. Aku berjanji kepada pihak penerbit, draft novel itu akan kuantar nanti malam.

Pak Yusak kupersilahkan duduk, sementara aku mengambil minuman dingin dari lemari es. Aku berjalan ke jendela kaca, menumpukan kedua belah tangan di bingkainya. Hei, cantik sekali bunga-bunga mawar yang bermekaran di halaman itu! Kenapa selama ini aku kurang memerhatikannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun