Mohon tunggu...
Riefka Aulia
Riefka Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://riefkaulia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rendezvous: De Begraafplaats Peneleh Soerabaja

9 November 2011   23:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:51 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Soerabaja. Adalah kota terbesar setelah Batavia pada zaman VOC berkuasa. Tapi siapa sangka daerah ini merupakan salah satu saksi bisu betapa kuasanya VOC kala itu. Daerah ini adalah daerah tertua di Surabaya yang dilalui oleh Kali Mas (Sungai Mas), kali/sungai ini mengalir hingga timur laut dan bermuara menuju Selat Madura. Muara Kali Mas merupakan pelabuhan tradisional Surabaya yang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu dan menjadi pintu gerbang menuju ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan. Daerah manakah ini?

Peneleh.

Setelah Belanda datang sekitar 1600-an dan yang secara resmi penguasaannya diserahkan kepada VOC pada 11 November 1743 kawasan ini menjadi jalur transportasi air yang ramai. Hilir mudik sampan dan perahu kecil mengangkut barang komoditi dan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan dari pelabuhan Tanjung Perak. Ibarat rumah yang terdiri dari kamar demi kamar, ruang demi ruang maka tak mungkin jika di suatu daerah tak ada tempat pemakamannya. Entah atas dasar apa akhirnya Peneleh menjadi pilihan utama untuk menggantikan makam mungil di sekitar Gereja Katolik pertama (sekarang kompleks mapolwiltabes Surabaya) yang berdiri di Surabaya. Letaknya yang berada di sekitar 100 meter dari bibir Kali Mas sangat menjorok dan tersembunyi. Dibangun pada 1814 dengan areal seluas 5,4 ha memiliki nama resmi De Begraafplaats Peneleh Soerabaja atau Makam Peneleh Surabaya. Alhasil jenazah yang akan dimakamkan di tempat ini harus berurusan dulu dengan "keras"nya medan. Yaitu menyusuri sungai/kali, kemudian saat tiba di pelabuhan yang diperuntukkan untuk menurunkan jenazah di ujung jalan makam Peneleh, selanjutnya jenazah siap-siap diangkut dengan kereta kuda menuju pemakaman. Tanda jenazah sudah siap menuju pemakaman adalah dengan membunyikan lonceng besi. Dan jumlah kuda yang mengangkut jenazah tergantung dari status sosial jenazah. Tapi berbicara soal jenazah, yaitu perkara dikubur atau dibakar, tergantung dari permintaan si jenazah sebelum meninggal atau pihak ahli waris. Perlengkapan krematorium di pemakaman ini tersedia, tepatnya di sisi timur. Karena minimnya akses jalur darat, kecuali dari pusat kota sekitar Jembatan Merah, akhirnya pada tahun 1920 dibangun lah jembatan Peneleh yang mengubungkan Peneleh dengan Gemblongan. Akibat pembangunan jembatan dan jalan tembus menuju pemakaman, pelabuhan Peneleh berubah fungsi menjadi pasar buah. Dan terhitung sejak 1955, saat para penjajah sudah "pulang kampung" ke negaranya dan Indonesia baru berusia 10 tahun setelah kemerdekaannya, otomatis aktivitas Makam Peneleh vakum. Dan tiga - empat tahun terakhir ini Makam Belanda Peneleh mendapat perhatian lagi dari pemerintah Belanda yang bekerja sama dengan PBB untuk mengubah fungsi makam menjadi public space. Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) sepakat dengan rencana Belanda dan PBB yang ingin merevitalisasi Makam Peneleh dengan konsep wisata historis agar lebih bermanfaat bagi warga sekitar, seperti menjual suvenir hasil usaha warga. Dan seminggu yang lalu saat saya menyempatkan ke sana, makam ini benar-benar terlantar. Lantas saya membenak: Sejauh mana penggodokan DKP dari rencana Belanda dan PBB yang ingin merevitalisasi tempat ini? Apa PBB yang bersedia mengeluarkan dana untuk mengubungi ahli waris dari makam-makam masih mengurusinya? Well, setidaknya rencana ini harus terlaksana. Iya, harus! Tidak masalah jika penggodokannya lama, tapi setidaknya harus transparan juga sudah sejauh mana mereka menggodoknya. Pelan tapi pasti, jika tidak segera direvitalisasi akan semakin cepat digerogoti oleh iklim yang tak bersahabat. Ah, mungkin sebelum rencana Belanda dan PBB ini matang dan terlaksana, Makam Peneleh sudah wassalam. Tapi.. jika DKP sedang menggodok rencana hebat ini, tidakkah sepatutnya Makam Peneleh diisolasi dari warga sekitar yang berpotensi "menghancurkan" situs kuno ini? [caption id="attachment_141907" align="aligncenter" width="300" caption="Pintu Gerbang Makam Peneleh"][/caption] Saat ini Makam Peneleh bertetanggaan dengan pemukiman penduduk. Di semua penjuru perbatasan adalah pemukiman padat penduduk, bahkan sebelum masuk ke pintu gerbang yang akan menuju makam, sebelah kiri berdiri sebuah bangunan institusi pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas Peneleh) dan sebelah kanan ada sebuah warung makan milik warga. Begitu melewati pintu gerbang, di sisi sebelah kiri Anda akan disambut oleh pemandangan pakaian yang dijemur tergantung di atas kuburan. Dan perhatikanlah cor besi dan baja yang dijadikan "nisan" kuburan mereka, semua dalam kondisi korosi. Tapi ini sebagian, nisan yang mereka gunakan lebih banyak menggunakan batu alam, seperti sejenis marmer atau granit. Semua dalam kondisi mengenaskan. Lebih masuk lagi, Anda akan melihat sebuah graffiti. Gambar ini salah satunya: [caption id="attachment_141913" align="alignright" width="300" caption="graffiti di badan kuburan"][/caption] Lebih masuk lagi, Anda akan menemukan kambing-kambing berkeliaran, berkejaran satu sama lain, makan rumput dengan santainya dan duduk berleye-leye di bawah pepohonan. Satu hal yang mengenaskan lagi, saat saya ke sana ada seseorang yang tidur tepat di atas kuburan dengan dua botol UC1000 kosong di sampingnya. Ngadem kah? Atau menunggu malam kemudian mencari wangsit? Entahlah... tapi inilah kata "mengancurkan" yang saya maksud. Situs kuno yang sudah berusia 60an lebih setidaknya harus "diisolasi" layaknya bangunan prasejarah macam candi, kuil, dll. Tapi nggak terlalu diisolasi juga sih, setidaknya keseriusan bahwa tempat ini merupakan cagar budaya nampak. Tentu tidak ada kambing yang berkeliaran lagi di area ini, tidak ada orang yang dengan sengajanya tidur di atas kuburan layaknya kasur, tidak adanya jemuran yang tergantung, dsb. Selain itu ada beberapa makam yang telah berlubang, entah itu karena penjarah makam atau pihak ahli waris memindahkannya ke tempat asalnya, jadi menambah kesan bahwa pemakaman ini benar-benar tidak terurus. Tidak hanya itu, kuburan yang kehilangan wujud bangunan kuburannya pun banyak. [caption id="attachment_141916" align="aligncenter" width="150" caption="tak ada nisan. (mantan) kuburan (?)"][/caption]

Pengrusakan karena alam itu pasti terjadi, tapi belum cukupkah iklim Indonesia (terutama Surabaya) yang sekarang seperti ini harus ditambah dengan pengrusakan situs kuno karena perbuatan manusia?

Rendah hati lah jadi pahlawan

tanpa tanda tanya, sesuai masing-masing peran :-)

*Selamat Hari Pahlawan*

Referensi: Jembatan Peneleh; Kali Mas; Kota Surabaya; Makam Peneleh Jadi Wisata Historis; Makam Belanda Peneleh & pribadi. ========= Foto-foto oleh Riefka Aulia. Foto lainnya sila lihat di sini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun