Mohon tunggu...
Ridwan Soleh
Ridwan Soleh Mohon Tunggu... -

Lelaki diambang waktu, ayah dari 9 orang anak. Ingin bisa menulis ttg visi dan pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ada Cicak Vs Buaya di Cibuluh

18 Januari 2010   08:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:24 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Serupa tapi tak sejenis dengan versi aslinya, bukan cerita mengenai perseteruan dua lembaga penegak hukum yang berebut lahan kasus korupsi di Indonesia, tapi ini cerita menarik tentang “tukang listrik”, ketika pembangkit lisrik mikrohidro milik kelompok masyarakat, harus bersaing melawan PLN, pemegang lisensi negara untuk monopoli bisnis pasokan listrik nasional, di sebuah desa terpencil di Jawa Barat.

Masyarakat Desa Cibuluh, Kec. Cidaun, Cianjur, adalah bagian kecil saja dari sekitar 90 juta rakyat Indonesia yang belum menikmati sumber enerji listrik yang layak, yang dapat mencukupi untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Masih beruntung, Desa ini menjadi percontohan untuk penerapan teknologi mikrohidro pembangkit listrik, dengan kapasitas sekitar 18 Kw. Dengan jatah antara 100 s/d 200 watt tiap rumah, sekitar 120 rumpun kepala keluarga sampai sekarang dapat menikmati hasil pemanfaatan sumberdaya air yang ada di kampung mereka, untuk keperluan penerangan sampai bisa menonton acara tayangan di televisi.

Ketika mikrohidro ini diresmikan lima tahun yang lalu, Pak Bupati Cianjur berkenan hadir dengan seabreg pejabat dari instansi yang berkaitan termasuk dari PLN. Harapannya ketika mereka semua diundang, ada sebuah model yang bisa diperlihatkan, sebagai alternatif dari kebijakan pengadaan pasokan listrik untuk masyarakat, yang di kampungnya tersedia sumberdaya yang bisa dijadikan sumber pembangkit listrik.

Tapi menggantungkan harapan dukungan kepada pemerintah ternyata salah, apalagi dibelakangnya ada PLN. Sekarang mereka datang, merambah lahan lahan masyarakat kecil, membunuh semua ide yang muncul untuk bisa mandiri dan keluar dari jalur calon konsumen abadi bisnis perusahaan pemasok listrik nasional itu.

Apa yang ada di benak pemerintah dalam penerapan kebijakan enerji nasional?
Visi kacamata kuda, yang bisa dilihatnya hanya uang pinjaman sebagai modal, minjam duit dan minjam duit, potensi sumberdaya milik rakyat digadaikan hampir secara cuma-cuma. Misi dan strateginya ada dalam kendali sais corporate asing penanam modal. Siapa peduli dengan pengembalian. Bangkrut dan dikorupsi?, semakin suka. Take or pay, ambil alih semua monopoli bisnisnya, itu yang mereka harap.

Di perkotaan, tagihan listrik semakin mencekik . Tak ada alternatif selain menarik nafas pelan-pelan. Saking terbelenggunya, jangankan bisa teriak urusan tarif harga dasar, untuk urusan timbal balik kwalitas pelayanannya pun hanya bisa sebatas menggerutu.

Jika orang-orang di desa terpencil yang belum mendapat pasokan listrik PLN seperti di Desa Cibuluh memahami situasi ini, niscaya mereka akan bergembira dan tak perlu teriak minta fasilitas pembangunan listrik dari pemerintah. Mereka masih punya harapan untuk menghindari nasib sial seperti orang-orang yang terlanjur hidup di perkotaan. Di pedesaan, umumnya masih ada potensi sumberdaya pembangkit listrik yang bisa dimanfaatkan, dan diolah untuk modal kemandirian enerji masyarakat.

Bertahun-tahun saya bergelut dengan hal ini, bayang-bayang impian wujud sebuah kawasan kecil yang mandiri dan makmur. Paling tidak tercapai kondisi signifikan dalam jumlah dan kwalitas untuk kemandirian pasokan enerji listrik untuk masyarakat.

Di desa Cibuluh, ketika harapan itu secara logis dapat diwujudkan, ternyata hampir hampir tidak bisa. Meski ada hutan dan aliran sungai yang menjadi sumber potensi, ada masyarakat yang menjadi komunitas pengelolanya, ada bantuan sumber dana hibah yang menjadi modal awal pembangunannya, ternyata semuanya bukan sebuah “fresh guaranty” keberhasilan.
Tidak ada tempat bagi msyarakat untuk mendapat sebagian porsi hak mereka dalam pengelolaan hutan meski hanya untuk melindunginya saja dari kerusakan . Lahan lahan komunal juga telah habis di privatisasi pejabat pejabat desa. Dalam masyarakat, kearifan budaya yang menjadi perekat kehidupan sosial sebuah komunitas juga sudah luluh lantak oleh polusi gaya hidup modern yang diimpor dari perkotaan

Empat tahun pendampingan secara intensif, waktu yang dibutuhkan untuk mengkarbit perubahan kondisi ideal untuk penerapan kebijakan pembangunan berbasis masyarakat. Sampai sampai pihak desa harus membuat aturan sendiri, dan membentuk kelompok swadaya masyarakat untuk penjaga hutan, tapi harus berhadapan dulu dengan aparat BKSDA sebelum bisa memberantas penebang liarnya. Hanya untuk menjamin tersedianya pasokan air yang stabil . Sampai masyarakat bisa memanfaatkannya secara optimal untuk pembangunan turbin pembangkit lisri mikrohidro yang dikelola sendiri selama lima tahun terakhir ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun