Saya mengenal Paus Fransiskus bukan dari media cetak atau mimbar keagamaan, melainkan dari video pendek di TikTok. Entah bagaimana, algoritma membawa saya pada satu rekaman: beliau berjalan perlahan, menyalami banyak orang, dan mengucapkan pesan damai saat berkunjung ke Indonesia. Ada kesan yang aneh, seolah-olah ia sedang berpamitan. Hari itu saya hanya menatap layar dalam diam, tak tahu harus merasa senang atau justru sedih. Dan kini, ketika kabar wafatnya tersiar, rasa sedih itu kembali---tapi dengan makna yang lebih dalam.
Figur Paus Fransiskus, jika didekati bukan hanya sebagai pemimpin Gereja Katolik, adalah simbol dari keberanian untuk merangkul perbedaan dan kesediaan untuk merendah di tengah gelombang keangkuhan dunia modern. Sosoknya tak hadir sebagai pengkhotbah moral, melainkan sebagai penenun dialog yang sabar---dengan kaum miskin, dengan yang terpinggirkan, bahkan dengan mereka yang kerap dianggap sebagai "yang lain".
Dalam setiap gestur dan ucapannya, ada pesan diam-diam yang hendak disampaikan: bahwa keberagaman bukan musuh, dan bahwa kasih sayang jauh lebih revolusioner dibanding kemarahan. Ini bukan narasi yang dibuat-buat. Lihat saja bagaimana beliau lebih memilih tinggal di wisma sederhana ketimbang istana kepausan, atau bagaimana ia mencium kaki para pengungsi dalam satu peristiwa yang viral. Semua itu bukan simbolisasi kosong, melainkan praktik nyata dari spiritualitas yang membumi.
Apa yang tersisa kini setelah ia tiada? Barangkali bukan institusi atau dokumen ajaran, tapi cara pandang. Cara pandang bahwa menjadi manusia adalah tugas spiritual tertinggi. Dan bahwa iman, apapun warnanya, semestinya mendorong kita untuk lebih peduli, lebih mendengar, dan lebih terlibat---bukan sebaliknya.
Jejaknya barangkali tidak akan mudah ditiru. Tapi setidaknya, kita bisa mulai dari hal kecil: memberi ruang pada yang berbeda, menahan hasrat untuk menghakimi, dan mengasah nurani agar tidak tumpul di tengah keramaian informasi yang banal.
Paus Fransiskus mungkin telah pergi. Tapi nilai-nilai yang ia perjuangkan akan terus menempuh ziarah panjangnya---melintasi batas agama, negara, dan bahkan generasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI