Di dunia akademik, ada satu spesies yang sering diagung-agungkan: si rajin. Mereka yang selalu hadir paling awal, pulang paling akhir, dan kalau bisa, mengorbankan tidur demi tugas. Mahasiswa dengan mata panda dan tumpukan revisi di tangan dianggap sebagai teladan. "Wah, keren banget! Produktif sekali!" Begitu komentar orang-orang, seolah-olah keberhasilan hidup ditentukan oleh seberapa sering seseorang menyiksa dirinya sendiri.
Saya tak tahu pasti kapan kultus ini bermula, tapi yang jelas, ia bertumbuh subur di ekosistem akademik. Kita semua tahu mahasiswa atau dosen yang bangga karena belum tidur semalaman demi makalah, yang merasa superior karena tak pernah izin sakit, dan yang melihat libur sebagai tanda kelemahan. Seolah-olah, jika kamu tidak tersiksa oleh tugas atau penelitian, maka kamu bukan mahasiswa sejati.
Tentu, kerja keras itu penting. Tapi yang terjadi di dunia akademik ini bukan sekadar kerja keras, melainkan glorifikasi kelelahan. Tidur hanya 2 jam? Hebat. Tidak makan karena sibuk revisi? Luar biasa. Lembur sampai pusing? Pasti calon sarjana brilian. Ini bukan produktivitas, ini eksploitasi diri dengan branding akademik.
Di balik itu semua, ada sesuatu yang lebih besar yang mengendalikan: sistem yang menuntut performa tanpa peduli manusia di baliknya. Mahasiswa dibanjiri tugas, dituntut cepat lulus, tapi juga harus aktif organisasi, punya pengalaman kerja, dan (kalau bisa) tetap waras. Dosen harus memenuhi target penelitian, menulis jurnal internasional, dan mengajar, semuanya dalam waktu yang sama. Ini bukan soal belajar atau berkembang, tapi soal bertahan hidup di tengah ekspektasi yang absurd.
Menariknya, budaya ini tak berhenti di akademik. Setelah lulus, dunia kerja dengan senang hati melanjutkan estafet. Perusahaan menyukai kandidat yang "mau bekerja di bawah tekanan," yang "fleksibel" (baca: bisa disuruh lembur), dan yang "punya inisiatif tinggi" (baca: bisa kerja lebih tanpa dibayar lebih). Dari kampus hingga kantor, kita dipaksa percaya bahwa semakin lelah, semakin berharga.
Tapi mari kita tanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar bekerja keras demi impian kita, atau kita hanya terjebak dalam balapan tak berujung demi validasi? Apakah begadang demi tugas benar-benar membuat kita lebih pintar, atau hanya menguras kesehatan kita untuk sesuatu yang bisa dikerjakan dengan lebih manusiawi?
Karena pada akhirnya, kultus "si rajin" ini hanya menguntungkan satu pihak: sistem yang terus meminta lebih, tanpa memberi kompensasi yang sepadan. Lalu kita, dengan bangga, menyerahkan diri ke dalamnya, mengira bahwa kita sedang berjuang. Padahal, kita hanya sedang dieksploitasi dengan cara yang lebih halus dan lebih akademik.
Kalau masih ragu, coba ingat: tak ada penghargaan untuk mahasiswa yang kurang tidur. Tak ada bonus bagi dosen yang lembur terus. Yang ada hanya kelelahan yang dipuja-puja, sementara hidup kita berlalu begitu saja.
Jadi, masih bangga jadi si rajin? Atau sudah mulai sadar bahwa tidur yang cukup juga bentuk perlawanan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI