Mohon tunggu...
Ridhony Hutasoit
Ridhony Hutasoit Mohon Tunggu... Auditor - Abdi Negara

Aku ini bukan siapa-siapa, hanya terus berjuang meninggalkan jejak-jejak mulia dalam sejarah peradaban manusia, sebelum kelak diminta pertanggungjawaban dalam kekekalan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pemilihan Nama (Calon) Ibu Kota Negara di Tengah Pro dan Kontra

26 Agustus 2019   18:52 Diperbarui: 27 Agustus 2019   06:21 2414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay, Dimodifikasi

Ada yang bilang, pemindahan ibu kota ini berasal dari berbagai niat, mulai dari mitigasi risiko, perwujudan ide Sang Proklamator, aspek keadilan yang diwujudkan dalam pemerataan pembangunan, kemanan, walau ada juga yang bilang muatan politis atau ada unsur mafia.

Dalam artikel terdahulu, saya pernah menulis urgensi pemindahan Ibu kota dalam tautan sebagai berikut. 

Pemindahan ibu kota ini tentu ada pros and cons. Bahkan, sebelum lokasi spesifik calon ibu kota negara ini diumumkan, terdapat pemberitaan hasil survey yang dilakukan Indonesia Development Monitoring (IDM) yang mengungkap 94,7 persen ASN menolak ibu kota dan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan. 

Sebanyak 93,7 persen beralasan khawatir dengan mutu fasilitas kesehatan dan pendidikan anak jika dibandingan dengan DKI Jakarta. Kemudian, jika  ditanya mau tidak mau harus pindah bertugas ke ibu kota negara yang baru, sebanyak 78,3 persen akan mengajukan pensiun dini, 19,8 persen akan ikut pindah dan sisanya menjawab tidak tahu. 

Di sisi lain, keengganan pindah ASN ini tidak lepas dari zona nyaman lain mencakup kepemilikan aset hingga kemudahan akses infrastruktur lainnya, seperti hiburan hingga informasi. Padahal di sisi lain, kondisi inilah yang menjadi pemacu ASN untuk lebih produktif lagi serta mengembangkan helicopter view dalam menghasilkan kebijakan bukan dalam comfort zone. 

Bukankah kebijakan akan makin purna, jikalau sang pembuat kebijakan punya berbagai persepsi termasuk pengalaman hidup di daerah. Atau dengan bahasa sederhana, bagaimana bisa membuat kebijakan yang adil, jikalau penempatan Jakarta melulu?

Memang pemindahan ibu kota negara ini masih memiliki jalan yang panjang. Pertama, tentu kesepakatan dari Legislatif (DPR) karena memerlukan undang-undang sebagai dasar implementasi kebijakan besar ini. Belum lagi pembangunan sarana dan prasarana di lokasi baru, sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan mulus termasuk menjadi solusi keengganan ASN untuk pindah lokasi.

Di sisi jangka panjang, saya melihat pemindahan ibu kota ini merupakan pembelajaran sejarah yaitu lompatan paradigm (paradigm leap) dalam "mata dan batin" untuk menyadari Indonesia bukan hanya jawa. 

Bukankah pembangunan infrastruktur paling masif dan modern, lumbung pendapatan, hingga pusat  informasi serta tenaga manusia berkualitas masih dominan di Jakarta sebagai Ibu Kota saat ini? 

Dengan perpindahan ibu kota ini, diharapkan pola pikir Jakarta adalah "kehidupan layakku" ata "zona nyamanku" dapat "melompat" pada daerah lain untuk menstimulus pemerataan termasuk memperkuat rasa kepemilikan bersama ibu pertiwi, karena tidak jarang daerah tengah dan timur Indonesia daeri dulu merasa di anak nomor sekiankan setelah jawa baik dalam pembangunan infrastruktur maupun manusia.

Lantas muncul pertanyaan, apa nama yang cocok untuk ibu kota baru Indonesia ini? Memang apa pentingnya arti sebuah nama seperti kata William Shakespeare mengungkapkan: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet."  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun