Mohon tunggu...
Ridho Ary Azhari
Ridho Ary Azhari Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Tak ada yang berubah ketika cuma berdiam diri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dewasakah Politik Indonesia?

25 Mei 2019   03:13 Diperbarui: 25 Mei 2019   03:41 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin akan ada yang tersinggung dengan sedikit tulisan atau sebuah reaksi saya, tentang kejadian akhir-akhir ini. Tapi cobalah kita kontemplasikan atau renungkan beberapa kejadian yg sudah mulai memakan nyawa rakyat Indonesia dan yang jelas ini bukan sebuah bentuk tendensi kapada salah satu golongan politik.

Kita saling mengklaim bahwa kitalah paling benar dan merekalah yang bersalah, tapi coba lihat dari sudut pandang sebaliknya. Mereka pun melihat kita adalah yang paling salah. Teori tentang kebenaran, ayat-ayat kitab suci akan kita gunakan demi membenarkan apa yang kita lakukan dan menyalahkan apa yang mereka kerjakan. Pada dasarnya kita cuma sebatas menjustifikasi atau membenarkan ke-ego-an diri sendiri atau golongan kita! Harus kita ketahui, semua orang punya kebenarannya masing-masing, begitupun dengan agama, memiliki kebenarannya masing-masing. Tapi ketika kita hidup bernegara dan berbangsa, yang kita cari adalah suatu kebaikan bersama, tanpa mengklaim siapa yang paling benar.

Ternyata sebenarnya kita hanya mencari "siapa" yang salah, bukan "apa" yang salah. Ketika kita mencari siapa yang salah, kita cuma akan berkutat pada sebuah kompetisi siapa yang menang siapa yang kalah, yang mana itu tidak akan berkesudahan dan akan kontra-pendewasaan. Terkadang kita terfokus pada mencari "siapa" yang salah, agar kita dianggap pemenang. Maka coba tenangkan hati dan pikiran, untuk melihat "apa" yang salah. Bisa jadi yang salah ada pada diri kita sendiri.

Pada hakikatnya, pemilu kita untuk mencari orang yang pantas memimpin negara berdasarkan keinginan rakyat banyak atau suara terbanyak. Kalaupun ada kecurangan, buktikan melalui jalur konstitusional yg sudah disediakan. Kalaupun ditolak, berarti ada yang tidak memenuhi persyaratan bahwa ada kecurangan. Itu adalah sebuah pertanda kemajuan berpikir, karna kita menggunakan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah. Bukannya memaksakan kemauan golongan dengan cara brutal, dan memanaskan situasi dengan hasutan-hasutan. Apa bedanya kita dengan binatang ketika kita cuma menggunakan emosi dalam menyelesaikan masalah?

Kita lupa bahwa pemilu bukan bicara siapa yg menang, siapa yg kalah. Pemilu adalah milik rakyat Indonesia, pemilu bukan milik partai politik atau golongan tertentu, bukan milik Joko Widodo atau Prabowo Subianto, apalagi salahsatu agama. Seusai pemilu, pemenangnya adalah seluruh Rakyat Indonesia. Ingatlah bahwa kita lahir di rahim yg sama, yaitu rahim Ibu Pertiwi. 

Belajarlah dari kedewasaan para bapak pendiri bangsa kita dahulu, mereka merubah sila ke-1 Pancasila yg awalnya Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya menjadi hanya Ketuhanan Yang Maha Esa, hanya dalam waktu 15 menit saja, tidak sampai menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan memakan korban nyawa manusia, mereka sadar, mayoritas bukan berarti selalu benar, minoritas bukan berarti selalu salah. Sejatinya demokrasi Indonesia berpegang teguh pada musyawarah mufakat yang selalu mengindahkan persatuan dan menghindari perpecahan. Betapa bijaknya sikap para pendahulu kita. Maka "warisi" lah sikap-sikap itu agar tidak ada lagi perpecahan atau polarisasi di masyarakat.

Maaf beribu maaf, kita seakan kembali pada formalisme keagamaan, yang mana kembalinya doktrin-doktrin kaku tentang kehidupan beragama. Agama bukan lagi menjadi sebuah prinsip kehidupan spiritualitas, tapi agama digunakan untuk menyalahkan orang lain dan menghakimi orang lain, bahkan lebih parahnya digunakan sebagai dasar pegangan untuk membunuh nyawa manusia. Padahal tidak satupun agama diturunkan oleh Tuhan untuk menciptakan kekacauan, tapi agama diciptakan untuk membuat manusia hidup dalam keteraturan yg baik. 

Dengan kata lain, agama menginginkan manusia hidup dengan DAMAI. Seingat saya, dalam agama yang saya yakini yaitu Islam, sangat cinta pada perdamaian dan sangat menjauhkan diri pada kekerasan. Kita juga sebagai Rakyat Indonesia yang masih berideologikan Pancasila, selayaknya mengamini sila ke-3 yaitu Persatuan Indonesia. Indonesia bukan negara agama, tapi Indonesia mengakui adanya agama yang harus dianut oleh seluruh rakyat Indonesia. Negara Indonesia didirikan bukan pada dasar suatu golongan. Tapi dibangun atas pasar kebangsaan dan juga atas dasar kesamaan nasib.

Maka dari itu, kita adalah orang yg beragama, orang yg berbangsa satu yaitu Indonesia dengan ideologinya Pancasila yg mana pada sila ke-3 mengatakan Persatuan Indonesia. 

Yang kita cari adalah nilai kebaikan, bukan siapa pemenangnya. Harus kita sadari Yg dapat menghentikan kekacauan ini diri kita sendiri, dengan tidak menghasut, tidak terpancing atas hasutan orang lain, dan tidak memperkeruh suasana. Selain itu juga para elit politik harus segera melakukan rekonsiliasi pasca pemilu agar masyarakat kembali sadar bahwa kita masih satu bangsa dan negara walaupun pemenang pemilu sudah ditetapkan. Sekali lagi ingat, kita semua saudara, kita hidup bersama dalam sebuah negara yaitu INDONESIA, tidak perlu mengklaim kita yg paling benar, cukup klaim, kita semua satu nusa satu bangsa. Akhir kata, MERDEKA!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun