Mohon tunggu...
Muhamad Baqir Al Ridhawi
Muhamad Baqir Al Ridhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lagi belajar nulis setiap hari.

Blogku sepi sekali, kayaknya cuma jadi arsip untuk dibaca sendiri. Hohohoho. www.pesanglongan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Keinginan Menyerah yang Amat Sangat

3 Desember 2020   17:00 Diperbarui: 3 Desember 2020   17:01 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Lagi-lagi aku membandingkan diriku dengan orang lain. Tanpa aku sadari. Ya awalnya aku tidak sadar. Hanya gara-gara melihat feed instagram seseorang yang umurnya sepantaran denganku. Dan pencapaiannya menurutku hebat untuk seusia itu. Kemudian pikiranku bergulir, mengingat teman-temanku. Teman sepantaranku. Teman SMP. Teman SMA. Dan kuliah. Yang sekarang  sudah beres. Dalam arti sudah jadi PNS, sudah kerja kantoran di Jakarta, sudah kerja di perusahaan BUMN. Dan juga ada yang sudah menikah karena berlatar belakang mapan secara financial dan psikologi, lalu membangun bisnis bersama istrinya. Aku melihat itu semua seperti keberhasilan melalui tahapan kehidupan. Mereka melaju ke tingkat tantangan kehidupan berikutnya.

Sementara aku? Kacau! Aku ketinggalan jauh. Sialan! Aku belum apa-apa. Aku malah seperti lulusan SMA baru. Aku belum bisa mandiri. Belum ada penghasilan sendiri yang bisa dinikmati rutin setiap bulan.

Yah, bisnis ternyata sulit---sungguh tak terbayangkan sama sekali sebelumnya---apalagi dilakukan dengan modal kecil. Ah, tadinya aku kerja setahun dua tahun dulu. Kalau sudah terkumpul puluhan juta baru bisnis. Tetapi beras sudah menjadi nasi goreng. Momen itu tidak ada lagi. Beras itu tidak ada lagi. Adanya nasi goreng gosong. Aku merasa telah mengambil keputusan salah. Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku mesti menyerah, menghentikan bisnis ini saja dan bekerja dulu? Kalau iya, aku harus bergegas. Hidup itu sebentar!

Keraguanku itu juga dijembatani oleh Seth Godin, penulis beberapa buku karier terpopuler di dunia. Dia mengatakan bahwa para "pemenang"---orang-orang yang mencapai puncak di bidangnya---adalah orang yang cepat dan sering menyerah ketika sadar bahwa rencananya bukanlah yang terbaik baginya untuk dilakukan. Tulisnya, "kita gagal ketika kita bertahan pada tugas-tugas yang tidak berani kita hentikan." Kita gagal terus ketika mengerjakan hal serupa berulang-ulang.

Godin jelas tidak menasihati untuk menyerah hanya karena tugas itu sulit. Bertekun menghadapi kesulitan adalah keunggulan kompetitif untuk setiap pelaku perjalanan di jalan yang panjang. Tetapi ia mengatakan bahwa mengetahui kapan harus berhenti dan menyerah adalah sebuah keunggulan strategis. Sehingga setiap orang---sebelum mulai berupaya---harus memperhitungkan kondisi-kondisi di mana, bila terjadi ini atau itu, mereka harus berhenti. Menurutnya trik ini penting. Supaya kita betul-betul tahu penyebab kita beralih rencana. Jadi kita beralih rencana itu karena kegagalan akibat kementokan bersiteguh, atau karena kita tahu rencana yang baru ini lebih cocok, sesuai bila diterapkan di situasi yang sudah kita amati mendalam.

Pernyataan itu ada benarnya. Banyak benarnya. Aku pun sadar betapa tidak tahunya aku. Aku tidak tahu sedang di situasi, atau di fase apa. Eh, sebenarnya aku tahu. Aku tahu, aku punya banyak ide. Sangat banyak hingga tak tahu mana yang mesti dilakukan dulu. Aku ragu mana lebih berdampak. Mana yang prioritas. Karena pertimbanganku banyak. Aku membaca ideku dari berbagai kacamata. Kacamata, orangtua, teman, masyarakat umum, aku yang egois, aku yang altruis, aku yang bodoh, aku yang pintar, dan seterusnya. Sampai-sampai tak satu pun dikerjakan. Eh, jika pun ada yang aku kerjakan, itu hanya segelintir. Kemudian aku merasa lelah melakukannya. Karena aku seperti setengah-setengah melakukannya. Ada beban pikiran yang ke mana-mana. Dan hasilnya ternyata sia-sia.

Namun dalam hal ini aku jadi ingat konsep pelog (biji mangga) dari Mbah Nun. Semua orang tentu suka bagian buah mangga, yang jelas-jelas bisa dimakan, dinikmati langsung. Tidak seperti pelog. Tetapi tunggu dulu, jangan remehkan pelog. Ketika pelog melalui kepahitan, ditanam, disirami, atau dirawat terus menerus. Dengan waktu yang lama, dengan hasilnya tak pasti. Pelog akan lebih bermanfaat. Karena yang dihasilkan tidak sekadar buah. Juga serangkaian komponen, atau sistem yang berkelanjutan. Seperti batang, akar, daun, dan buahnya pun tidak hanya satu. Banyak! Buahnya bisa jadi tidak ada putus-putusnya. Bahkan, kelak bisa dimanfaatkan oleh orang yang tidak pernah melihat 'pelog'  pertama itu sama sekali.

Sesuatu yang kita anggap bermakna itu butuh waktu, kepahitan, kesabaran, kekonsistenan, kerja keras dan.. apalagi ya...? Pokoknya dia terdiri dari nilai-nilai yang tak dapat diraba. Tetapi kita bisa merasakan sentuhannya saat membangunnya, saat memperjuangkannya, hingga terwujud.

Kembali soal keragu-raguanku tadi. Tentu aku boleh menyerah. Entah apa pun alasannya. Aku juga boleh berlanjut. Entah apa pun alasannya. Ya, karena ini hidupku, jadi terserah-serah aku. Namun perlu kuperhatikan, jangan sampai aku hanya mengikuti orang lain, atau pihak lain. Dan aku perlu tahu betul alasanku---yang entah apa pun itu---yang aku perjuangkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun