Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sesudah "Good Looking", Kemenag Tersandung soal Dana BOS Murid Madrasah

10 September 2020   07:42 Diperbarui: 10 September 2020   07:51 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: MediaIndonesia.com

Membaca pernyataan Ketua Komisi VIII DPR RI, Yadri Susanto, yang mengaku kecewa dengan kebijakan Kementrian Agama (Kemenag), karena kementrian ini memotong dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) madrasah dan pesantren sebesar Rp 100 ribu per siswa (Repelita, 9/9/2020) , saya jadi ikut sedih. Koq tega?

Beberapa hari lalu, di harian yang beda (Pojokbogor, 7/9/2020), saya membaca sebuah artikel tentang kekayaan Pak Menag, yang punya 4 koleksi mobil mewah, dengan kekayaan Rp 25.993 miliar berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (HKPN), tentu jadi miris. 

Mungkin jumlah segitu belum apa-apanya bagi kalangan atas. Tetapi bagi rakyat biasa, itu contoh gaya hidup yang suda kaya banget.

Saya pernah di pondok cukup lama. jadi tahu persis bagaimana kehidupan teman-teman yang belajar di pesantren dan madrasah. Sebagian memang berasal dari keluarga berada, anak pedagang atau oran punya. Namun mayoritas dari kalangan menengah ke bawah.

Saat ini, kita bisa lihat sudah mulai bermunculan pondok-pondok pesantren modern yang menawarkan kurikulum modern. Mereka memberikan teknik pembelajaran modern.

Bukan hanya pintar agama, tetapi juga pandai matematika, kimia, fikisa, pertanian, elektronik, hingga bahasa Inggris. Mereka juga menyediakan fasilitas-fasilitas mewah kepada peserta didiknya.

Makanya bisa dimengerti, ketika masuk pondok seperti ini, orangtua/wali muridnya umumnya berasal dari keluarga kaya. Minimal pengusaha kelas menengah atau orangtuanya kerja di luar negeri.

Meskipun di pondok pesantren kami diajari hidup sederhana, tidak boleh bawa HP, tidak ada laptop, saya bisa menilai taraf social ekonomi anak-anak ini dari penampilannya. Ibaratnya, dari jenis Sarung dan baju yang dikenakan, atau Sandalnya saja, sudah kelihatan beda mana yang kaya mana yang miskin.

Terlebih lagi, jika orangtuanya datang mengujungi. Minimal sekali dalam sebulan. Ada anak-anak yang diperlakukan sangat manja tampak sekali. Tidak jarang perlakuan ini membuat anak-anak di madrasah atau pesantren yang dari keluarga kaya, tidak betah. Mereka ingin keluar.

Anak-anak dari keluarga kaya ini menganggap duit Rp 100 ribu yang disebut oleh Ketua Komisi VIII yang diambil Kemenag dari dana BOS, itu bukan apa-apa. Bisa jadi mereka atau orantuanya tidak peduli. Lagian, mereka tidak layak dapat bantuan. Lain dengan anak-anak miskin.

Untuk Apa anak-anak dengan Rp 100 ribu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun