Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

RS Bisa Nakal, Bisa Salah Diagnosa, Rakyat yang Menderita

18 Juli 2020   07:20 Diperbarui: 19 Juli 2020   10:56 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengalaman Tetangga

Pekan lalu, seorang tetangga kami, sudah lanjut usia, pulang dari Rumah Sakit (RS) di Malang. Semula diagnosa 'Positif Corona'. Harus mondok selama dua minggu tentu bukan perkara mudah bagi keluarga yang sangat sederhana tersebut. 

Pasalnya, sekitar sebulan silam, saat berkunjung ke RS, sesaknya kumat. Ibu Imah, sebut saja demikian namanya, kontan masuk dalam kategori 'Orang Dalam Pengawasan' (ODP).

Apa yang terjadi kemudian adalah. Hanya karena beliau mengalami sesak, padahal sesak ini dialami sudah lama, bahkan ada riwayat keluarga. Beberapa anggota keluara lain juga mengalami gejala yang sama, sesak nafas, banyak orang jadi ribut.

Ibu Imah dijemput aparat beserta perawat dengan ambulance. Kemudian dibawa ke RS. Ternyata, dua minggu sesudahnya, hasil pemeriksaannya negatif. Dua minggu sesudah istirahat, makan dan tidur di RS (itu kata Ibu Imah, karena memang beliau tidak merasa sakit), itu bisa jadi 'derita'.

Pada kali lain, pagi hari, seorang sepupu saya kapan itu tiba-tiba terjatuh di rumah, tidak mampu berdiri. Ibu tiga anak ini tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Kontan, oleh suaminya langsung dibawa ke RS. Sepupu saya yang perawat ini minimal tahu kepada siapa harus berobat. Yang dia ingin adalah dokter Ahli Syaraf.

Dia heran, karena saat tiba di RS, dia diperlakukan seperti pasien Corona. Dia bertanya kepada petugasnya, yang kemungkinan besar seorang perawat, mengapa diperlakukan demikian. Pemeriksaan yang dilakukan tidak ada kaitan dengan keluhannya. Melainkan dilakukan Foto Rontgen dan Swab Test. 

Barangkali oke lah kalau yang difoto kakinya. Tetapi ini dada. Tentu saja tidak gratis. Kalaupun misalnya 'gratis', pasti pula duitnya dari anggaran Pemerintah. "Kami hanya mengikuti protocol mbak...." Kata perawatnya.

Alhasil, semua test yang mengarah Corona, negatif hasilnya. Mungkin maksudnya baik. Namun, baik bukan berarti benar. Kalau menggunakan prinsip seperti ini pada semua pasien, berapa biaya sia-sia yang harus dikeluarkan oleh keluarga pasien yang datang ke RS untuk pemeriksaan yang tidak perlu?

Rumah Sakit Nakal

Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah saat rapat kerja (raker) dengan pemerintah, termasuk Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto Rabu (Saudagarnews.id., 15/7/20) mengatakan sejumlah rumah sakit terkait penanganan Virus Corona (Covid-19) mulai disorot. 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) curiga ada upaya mengeruk keuntungan oleh sejumlah rumah sakit di tengah pandemi Corona yang disebabkan Virus tersebut.

Said menyebut, adanya RS 'nakal' di sejumlah daerah. Ia juga menilai, RS tersebut sengaja membuat pasien dinyatakan positif Corona demi mendapatkan anggaran Corona. Ada yang sebut kalau orang kena Corona masuk rumah sakit sampai meninggal anggaran Rp 90 juta atau Rp 45 juta. "Di Pasuruan, Jambi, Ciamis ini viral di mana-mana," jelasnya.

Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk penanganan Corona di bidang kesehatan senilai Rp87,5 triliun. Anggaran yang besar itu digunakan untuk belanja penanganan Corona sebesar  Rp65,8 triliun; insentif tenaga medis Rp5,90 triliun; santunan kematian Rp300 miliar; bantuan iuran JKN Rp3 triliun; Gugus Tugas Corona Rp3,5 triliun;  insentif perpajakan di bidang kesehatan Rp9,05 triliun.

Ada kabar yang menyebut kalau orang sakit karena Corona, kemudian meninggal, anggarannya mencapai Rp90 juta. Ada pula yang menyebut angkanya Rp45 juta. "Sehingga..", kata Said, "....terlepas benar atau tidaknya, kalau satu pasien meninggal berkisar Rp45 juta - Rp90 juta, kalau 100 orang pasien meninggal non-Corona dinyatakan Corona, RS bisa menerima uang senilai Rp4,5 miliar - Rp9 miliar."

Dokter Juga Manusia

Dokter juga manusia. Manusia tempatnya salah. Yang benar terus itu malaikat. Jadi, dokter sebagai manusia, bisa saja salah. Kalau ada dokter yang selalu mengaku benar, mungkin bukan dokter, tetapi malaikat.

Demikianlah Rumah Sakit, tempat para dokter, perawat, bidan, fisioterapi, farmasis, lab teknisi, radiologis dan lain-lain menjalankan misi mulia kemanusiaan. Kita harus menghargai mereka. Hanya saja kalau mereka lupa, harus diingatkan. Kalau salah, harus diluruskan.

Di Indonesia, dokter identik dengan RS karena rata-rata penanggungjawab manajemen RS adalah dari profesi dokter. Menurut UU Nomer 44 Tahun 2009, tentang RS, Kepala RS harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang permahsakitan. Oleh karena itu, kalau ada apa-apa dengan pasien, lumrah dokter biasanya yang ditanya. Kadang-kadang perawat.

Munculnya isu terkait RS nakal di atas dianggap 'menyalah-gunakan' kewenangannya dengan memanfaatkan wabah Corona. Karena penanggungjawab umumnya dokter, maka kembali lagi, dokter bisa kena getahnya. Walaupun tidak semua. Banyak RS yang baik, banyak dokter yang baik hati, bahkan memberikan layanan pengobatan gratis.

Namun demikian tetap saja, nila setitik, rusak susu sebelanga. Satu RS salah, sebanyak 2900 lebih RS yang ada di Indonesia, tercoreng nama baiknya. Yang salah adalah oknum, bukan profesi dokternya.

Kualitas Profesional Kesehatan

Saya punya beberapa teman yang masuk Fakultas Kedokteran. Profesi saya perawat. Dunia kami, seperti angka 11-12 dengan profesi kedokteran. Bedanya, kami merawat, dokter mengobati. Persoalan kerja, kami bebarengan di dalam RS.

Saya dulu pinginnya masuk kedokteran, tapi gagal. Proses penerimaan mahasiswa kedokteran saat ini beda dengan 40 tahun lalu. Saat ini ada program yang namanya 'Mandiri' yang dulu tidak ada. 

Saya dengar nih, saya ulangi, saya dengar, mereka yang punya duit Rp. 500 juta saja, bisa dijamin masuk Fakultas Kedokteran. Apalagi kalau punya 'Orang Dalam'.

Sebetulnya, soal suap ini bukan hal baru. Bukan pula hanya di jurusan kedokteran saja. Di jurusan-jurusan manapun di negeri +62 ini, gampang diterima asal punya duit dan orang dalam.

Tetapi, kuliah di Fakultas Kedokteran itu secara umum diakui, tidak gampang. Berat banget. Kalau hanya modal duit, tanpa otak, bisa kolaps lah. Sebaliknya, modal otak saja tanpa duit, juga bisa ambyar. 

Kuliah padat, materi berat, praktik menyiksa, ujiannya apalagi. Sesudah lulus pun, kalaupun lolos hingga wisuda, namun otak kelasnya 'Lutut', dijamin gak bakalan dapat Surat Tanda Registrasi Dokter. Pada akhirnya, hanya bergelar Dokter, tetapi tidak bisa kerja. Tuh kan?

Makanya, dokter rata-rata pintar. Tetapi ada juga yang sedang-sedang saja, seperti halnya perawat, bidan, apoteker, fisoterapis dll. Maklumlah, namanya juga manusia. Perawat ada yang pintar tetapi tidak baik. Dokter juga sama lah. Ada yang pintar, tetapi bisa saja 'lupa' saat di tempat kerja.  Yang menanggung akibatnya adalah masyarakat.

Perlindungan Kesehatan Masyarakat

Produk layanan kesehatan kita tidak seperti makanan. Kalau busuk, pahit, tidak enak bisa dikembalikan. Tidak perlu bayar. Saat ini, mana ada masyarakat yang berani 'melawan' dokter yang salah pemberian obat?

Paman saya pernah ke dokter gigi, yang dicabut ternyata bukan gigi yang sakit, tetapi yang sehat. Perlindungan dalam bentuk apa yang diberikan? Tidak jarang pasien menjadi bulan-bulanan jadi bahan 'percobaan' mahasiswa kedokteran spesialis. Khususnya di (maaf) RS Pemerintah. Yang memeriksa semua mahasiswa kedokteran. Dokter spesialis aslinya, datang kemudian. 

Jika ini Standard Operational Procedure, maka perlu dikritisi. Ini merupakan bukti bahwa masyarakat belum mendapatkan layanana kesehatan maksimal.

Adakah aturan bahwa masyarakat boleh diperlakukan sebagai 'bahan uji coba' di RS?

Masyarakat kita masih banyak yang belum menyadari hak-haknya. Jangankan masyarakat kelas bawah. Yang kelas atas saja menerima apapun yang dikatakan oleh professional kesehatan. Padahal, seperti yang saya sebut di atas, perofesional kesehatan bisa salah.

Oleh karena itu, upaya perlindungan kesehatan masyarakat harus maksimal. Bukan hanya malpraktik saja, misalnya perawat yang melakukan pekerjaan dokter, itu salah besar. Namun pemeriksaan tidak perlu yang menghabiskan duit masyarakat juga harus dipertanyakan kejelasanya. Juga termasuk pengobatan. 

Ini merupakan Pekerjaan Rumah (PR) kita bersama. Kita punya Koalisi Perlindungan Masyarakat (KOPMAS), tetapi belum maksimal hasilnya.

Di India, Qatar dan UAE saya dengar di tempat praktik dokter-dokter, tertera tulisan berapa harga yang harus dibayar oleh pasien. Persis seperti masuk supermarket. Ini merupakan keterbukaan yang patut dijadikan contoh. Beri layanan dengan menyantumkan harga.  

Zaman kini, memang mulai terlihat peningkatan kesadaran masyarakat. Misalnya adanya pertengkaran antara masyarakat di Instalasi Gawat Darurat dengan perawat atau dokter IGD. 

Ini sebagai bukti adanya keberanian masyarakat dalam mengekspresikan hak-haknya jika tidak puas dengan pelayanan atau ada pelayanan yang kurang beres. Sekaligus ini merupakan tanda-tanda yang menunjukkan perkembangan baru yang cukup menggembirakan. Makanya tidak jarang saat ini jadi petugas kesehatan juga sangat hat-hati karena masyarakat mulai kritis.

Mayoritas masyarakat juga sudah tidak lagi takut dengan jarum suntik. Yang mereka takutkan adalah berapa harga yang harus mereka bayar saat ke RS. Kecuali harga kamar paviliun, harga perawatan dan pengobatan rata-rata tidak mereka ketahui sebelum membelinya. Mereka kaget, mengetahui jumlahnya hanya sesaat sebelum pulang.

Meskipun ada KOPMAS, namun kita sebetulnya belum punya system tertara yang tersosialisasi secara luas, kepada siapa masyarakat menyampaikan keluhan atas layanan kesehatan yang kurang/tidak proporsional, seperti salah diagnosa dan ketentuan harga. 

Mestinya, layanan kesehatan ini 'sama' dengan kebutuhan pokok, seperti Sembako. Harga jasa layanan kesehatan harus distandardkan kalau perlu dimonitor Pemerintah. Ini harus dijadikan pertimbangan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Persoalannya, petugas kesehatan selalu punya alasan terkait harga ini. Harga obat, harga alat, dan harga fasilitas, yang membuat harga layanan berbeda antara RS satu dan lainnya. Inilah yang konon susah dikendalikan. Jika sudah seperti ini, kalau Pemerintah saja angkat tangan, masyarakat harus angkat apa?

Malang, 18 Juli 2020
Ridha Afzal    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun