Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Belajar dari Korea, Social Punishment di Negeri +62

3 Juli 2020   20:50 Diperbarui: 3 Juli 2020   21:26 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rijal Maulana di Seoul. Foto koleksi pribadi

Beberapa waktu lalu, saya diajak supervisor untuk makan Fried Chicken di sebuah restorant siap saji. Saya, seperti orang kita umumnya, kalau tanpa Nasi, berarti belum makan meskipun sekilo Ayam Goreng sudah dilalap. Makanya saya rasa 'menunya' kurang lengkap. Saya pilih Fried Chicken dan Kentang Goreng, nanti di rumah makan lagi.

Suasananya masih terasa banget Covid-19, belum sepenuhnya hilang. Jangankan pelanggannya, saya lihat motor yang diparkir juga ada jaraknya. Saya senyum sendiri dalam hati. Meja makan juga diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada orang yang duduk berdampingan atau berhadapan langsung. 

Di sebelah kanan atau kiri tempat duduk ada tanda Silang artinya 'dilarang duduk'. Di hadapan saya juga ada tanda yang sama. Saya milih duduk dekat jendela, sambil bisa menikmati suasana sore hari di pusat kota Malang.

Jalan Kawi merupakan salah satu pusat keramaian di Malang. Restaurant nya terletak di pojok, hanya beberapa meter dari Jalan Besar Ijen, pusat orang elit ternama di kota bunga dan mahasiswa Malang. Jalan-jalan di Malang, konon sebagai kota terpadat ke-7 di Indonesia, tergolong bersih dan tertata. Meski jalan raya padat, saya suka. 

Tidak heran jika Malang disebut sebagai destinasi wisata nasional. Tentu saja Pemerintah Daerah tidak bisa bermain tunggal. Perlu dukungan swasta dan seluruh masyarakat.

Usai makan, saya lihat para pelanggan membereskan Baki yang berisi 'sampah' bekas makan, tissue, serta gelas plastic. Mereka membuangnya di tempat yang telah disediakan. Beberapa orang pelanggan tidak segan membersihkn meja makan mereka dengan sisa tissue bekas yang mereka gunakan. Kemudian mereka buang di tempat sampah yang disediakan oleh manajemen. Saya melakukan hal yang sama. Sebuah tradisi beberes yang sangat bagus dan patut dibudayakan.

Saya melihat tidak banyak restaurant yang mengadopsi cara beberes ini. Padahal sangat baik. Saya identifikasi ada beberapa penyebab mengapa ini sulit diterapkan.

Pertama, dalam lingkungan keluarga. Tidak sedikit orangtua yang malas mendidik anak-anak untuk belajar membuang sampah pada tempatnya. Ini contoh kecil. Anak-anak juga tidak diajar untuk membantu mereka yang lemah, orang yang sudah tua, mengambil barang yang dibuang sembarang tempat, hingga mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan. Memang tidak semua orangtua melakukannya. Tetapi pengaruh dalam keluarga sangat besar.

Kedua, lingkungan. Betapapun di dalam keluarga diajarkan disiplin, membantu yang lemah, bantu orangtua, buang sampah pada tempatnya, namun di dunia nyata, dilihatnya orang seenaknya saja membuang sampah lewat jendela mobil, makan sambil jalan dan membuang sampah sembarangan. 

Di dalam bus, tidak ada istilah menomor-satukan orang tua, ibu hamil atau mereka yang cacat untuk mendapatkan prioritas tempat duduk. Akhirnya, anak-anak berkesimpulan bahwa tradisi 'tidak peduli' ini membudaya. Mereka terpegaruh oleh lingkungan untuk melakukan hal yang sama.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun