Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bugar Saat Pandemi: Sepatu, Bukan untuk Gaya atau Status Sosial

15 Juni 2020   06:26 Diperbarui: 15 Juni 2020   06:40 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sepanjang jalan Mergosono, Malang, berjajar panjang orang-orang berjualan sepatu. Nyaris sulit pejalan kaki mendapatkan ruang bergerak, lantaran begitu padatnya penjual. Pedagang kaki lima (PKL) ini menjajakan aneka sepatu, mulai dari yang second hand shoes, hingga yang baru. Namanya juga  PKL, harga sepatu biasanya murah dan kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Musim hujan baru aja berlalu. Saya bisa bayangkan ribetnya para PKL sepatu ini kala hujan datang tiba-tiba. Saya lihat selalu ada tumpukan tas plastik atau goni besar di sudut-sudut bagian belakang tempat mereka jualan. Mungkin digunakan sebagai tempatnya.

Bagaimanapun, ada saja yang beli. Terutama kalangan ekonomi bawah. Mereka mencari sepatu yang penting bisa dipakai. Walaupun ada juga orang-orang yang tidak peduli dengan gengsi. Meski punya duit, mereka mikir hemat itu penting. Sehingga beli sepatu di pasar loak, kadang bekas pun tak masalah.

Mereka, para pedagang ini percaya, bahwa rejeki itu tidak kemana-mana dan sudah ada Yang Maha Mengatur. Padahal, tidak jauh dari mereka, sekitar 200 meter jalan kaki, terdapat tiga buah Mall besar di pusat kota yang juga menjual sepatu. Sepatu, bagi para PKL ini, sudah ada pembeli tetapnya tersendiri. Makanya, tidak pernah sepi sebenarnya. Utamanya saat tiba tahun ajaran baru, liburan dan hari-hari besar.  

Yang di Mall dan toko-toko sekitarnya, agak beda, model dan harganya. Pembelinya juga beda. Minimal status sosial ekonominya. Walaupun sebenarya ada pembeli yang jaga gengsi, ada pula yang mengesampingkan gengsi. Pembeli sepatu di Mall, tidak sedikit yang hanya soal gengsi.

Hidup memang pilihan. Mau beli sepatu di pinggir jalan atau mall, yang bekas atau yang baru, setiap orang berhak mengambil keputusan. Toh mereka gunakan duit-duitnya sendiri.

Tiga bulan terakhir ini kita dalam suasana musim Corona. Suasana jual beli sepatu ini tidak seperti biasa. Sepi. Anak-anak tidak ke sekolah. Orang juga jarang ngantor. Sepatu, bagi mayoritas orang kita digunakan untuk tiga kepentingan: sekolah, ngantor atau bepergian.

Saya pernah ke masjid menggunakan sepatu. Seorang jamaah bertanya, sedikit keheranan. "Mau ke mana?" Rasa ingin tahunya tiba-tiba muncul tak tertahan. "Gak kemana-mana pak." Jawab saya. Saya lebih suka mengenakan sepatu kalau keluar rumah, ke mana saja. Tidak harus bagus, yang penting terlindungi kedua kaki ini.

Orang kita memang belum terbiasa dan bukan pula budaya kita mengenakan sepatu jika di rumah, ke masjid atau ke pasar. Kalau kita mengenakan sepatu, pasti ada saja yang bertanya mengapa dan mau ke mana. padahal bukan itu tujuan diciptakannya sepatu. Beda banget dengan orang Barat. Di atas tempat tidurpun, mengenakan sepatu.

Sepatu, menurut sejarahnya, sejak 40.000 tahun Sebelum Masehi sudah ada. Antara 1000-3000 tahun SM, Tutankhamen, Fira'un sudah mengenakan sandal yang dihiasi dengan berbagai ornament. Seribu tahun SM orang-orang Roma juga sudah membuat sepatu dari bahan kayu. Demikian pula di Yunani. Sekitar tahun 1000 Masehi sandal dan sepatu mulai terkena di Eropa.

Sepatu sebagai bagian dari Fashion diperkenalkan sejak abad ke-12-13. Catherin d'Medici, seorang bangsawan Itali memperkenalkan sepatu fesyen dengan hak tinggi di Perancis. Saat Revolusi Perancis, sepatu mulai populer. Hingga pada tahun 1888, untuk pertama kaliya perusahaan sepatu dibuka di Amerika Serikat. Tahun 1917 sepatu Canvas dengan kemasan ringan, karet lunak, mulai dibuat di Amerika.  Awalnya hanya dikenakan oleh anak-anak dan pemain Tenis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun