Menjadi PKB bagi saya dengan latar belakang kesehatan tidak sulit. Kami merasa bekal selama SPK sangat membantu.
Ini barangkali salah satu faktor pendukung mengapa saya betah jadi PKB. Terlebih, manajemen kantor juga masyarakat Munjungan waktu itu, lebih mengenal saya sebagai perawat daripada PKB hingga saat ini.
Awal tahun 1990 hingga 20 tahun berikutnya, saya tetap aktif sebagai perawat, merangkap sebagai petugas PLKB. Alhamdulillah profesi rangkap yang saya geluti ini bisa saya jalankan dengan tanpa banyak kendala.
Pagi kerja, sore atau malam banyak pasien yang datang meminta bantuan saya. Maklumlah Munjugan saat itu masih minim tenaga kesehatan. Ini yang membuat praktik mandiri saya laris manis.
Bukan hanya saya. Nyaris semua teman-teman seangkatan kami yang tinggal di daerah, kehidupan sosial ekonominya cukup sejahtera sebagai perawat.
Dalam 5-10 tahun pertama, yang namanya rumah, tanah, ladang, sawah, motor, mobil, itu bukan lagi barang mewah bagi kami. Rata-rata kami mampu memilikinya. Â
Perawat daerah umumnya memang sangat terampil dan piawai dalam hubungan masyakaratnya. Itu barangkali kuncinya mengapa masyarakat banyak yang suka memanfaatkan jasanya. Sebagai imbalan, status ekonomi perawat makin meningkat.
Pekerjaan utama kami sebagai PKB adalah memberikan penyuluhan. Keliling desa, naik turun bukit itu hal biasa. Makanya motor kami cepat rusak. Kesulitan terbesar adalah apabila hujan dan ada tanah longsor.
Sementara agenda sudah terjadwal. Kita terkadang tidak punya pilihan. Padahal mayoritas masyarakat berprofesi sebagai petani atau nelayan. Pagi mereka ke sawah atau ke laut, sore baru tiba. Makanya tidak heran jika kadang kami memberikan penyuluhan pada sore atau malam hari.
Kondisi alam di Munjungan memang tidak sekeras Papua, tetapi kami juga memiliki medan yang kurang lebih sama. Hanya saja tidak sampai berhari-hari jalan kaki.
Kami juga repot karena minim tenaga. Waktu itu kami hanya bertiga dan harus menjangkau 11 desa yang berpenduduk sekitar 60.000 jiwa.