Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mendongkrak Harga Jual Perawat Indonesia

30 Mei 2020   07:49 Diperbarui: 30 Mei 2020   07:58 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, saya ketemu seorang pemuda, lulusan sebuah SMK Negeri Singosari, tidak jauh dari tempat tinggal kami. Waktu itu dia sedang berdiri antri di belakang saya di sebuah ATM. Tergerak sekedar ingin memecah keheningan sosial, saya bertanya kerjanya di mana. Dijawabnya di sebuah karoseri. Saya tanya lagi, berapa honornya dengan status sebaga pemula, dia bilang Rp 3 juta. Sebuah jumlah yang lumayan untuk jebolan SMK dan baru lulus.

Saya tahu, keluaran SMK Negeri Singosari cukup terkenal dan bagus kualitasnya. Beberapa jurusan seperti Alat Berat, Otomotif, Bangunan, Elektro dan Komputer, banjir peminat. Mereka gampang mendapatkan pekerjaan. Tidak jarang mereka sudah dipesan sebelum lulus, dengan standard gaji. Namun untuk masuk dan diterima sekolah di sana, juga tidak gampang. SMKN Singosari termasuk yang terbaik di Indonesia dengan akreditasi A.

Dari pembicaraan singkat dengan pemuda tadi, saya berkesimpulan, nilai tawarnya seorang lulusan SMK, meski hanya setingkat SMA, umur 19 tahun, tetapi bisa dibayar 'mahal' bergantung pada: lembaga yang meluluskan, jurusan, permintaan pasar, kualitas lulusan dan kecakapan individual.

Sejenak saya refleksi dengan profesi keperawatan. Untuk lulusan minimal Diploma III, ditempuh selama 3 tahun belajar. Untuk yang sarjana, selama 4 tahun plus 1 tahun profesi. Total 5 tahun belajar. Setelah itu masih harus ikut Uji Kompetensi (Ukom) guna memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) yang memakan waktu berbulan-bulan. Tidak mudah seorang lulusan pendidikan Keperawatan langsung bisa mendapatkan kerja dengan penghasilan mapan. Oleh sebab itu, saat ini tidak sedikit lulusan Keperawatan yang ujung nasibnya tidak linear dengan jurusannya. Ada yang kerja di Bank, supermarket, sales, bengkel, alat-alat kesehatan, hingga jualan barang online.

Sedikitnya 40.000 lulusan pendidikan keperawatan yang dihasilkan setiap tahun dari 600 kampus yang ada di Indonesia. Pemerintah hanya mampu menyerap sekitar 15% nya. Artinya sekitar 34.000 lulusan yang masih harus mencari solusi akan kerja di mana. Sementara sektor swasta perkembanganya tidak secepat jumlah produksi, yakni jumlah perawat itu sendiri. Kompetisi di antara professional keperawatan sangat tinggi. Boleh jadi hal yang sama terjadi pada profesi lain, tidak terkecuali lulusan SMK jurusan Otomotif. Pemuda yang saya temui di atas mungkin saja sangat beruntung dibanding ribuan lulusan SMK lain di jurusan yang sama, yang belum dapat pekerjaan alias menganggur saat ini.

Di tengah sengitnya area kompetisi ini, tidak sedikit akhirnya perawat muda yang mengambil langkah-langkah, yang penting asal kerja guna 'menutupi' gengsi. Pada akhirnya mereka bersedia kerja 'gratis', yang penting berseragam Cokelat. Di Puskesmas daerah-daerah terpencil atau di luar Jawa ini sangat umum fenomena ini terajdi. Terlebih, Puskesmas yang tidak memiliki dana untuk membayar karyawan ekstra. Tidak ada jalan lain yang ditawarkan kecuali: apakah bersedia tidak dibayar?

Ada lagi yang magang di rumah sakit, dengan honor ala kadarnya. Beberapa RS tidak lagi menerima program magang. Sebagaimana diketahui, rata-rata pusat layanan kesehatan lebih suka menerima mereka yang sudah memiliki pengalaman kerja. Cara inilah yang ditempuh oleh fresh graduate agar bisa bersaing dengan koleganya yang ribuan jumlahnya. Meski dibayar Rp 150 ribu per bulan tidak masalah. Berbondong-bondong mereka antri. 

Bayangkan, di Malang misalnya, jumlah institusinya ada 17. Ada yang parallel. Minimal per institusi ada 2 kelas, per kelas 40 orang. Maka per tahun rata-rata menghasilkan 80x17=1360 orang lulusan keperawatan, fresh graduate. Belum untuk tingkat Jawa Timur yang angkanya mencapai sekitar 150 lembaga lebih. Bisa dipastikan kewalahan menampung 12.000 lulusan perawat per tahun. Mereka juga masih harus ikut Ukom dan sebagian besar dari luar Jawa Timur, khususya dari NTB, NTT dan Indonesia Bagian Timur.  

Mereka yang berasal dari luar Jawa sebagian besar balik ke kampungnya tetapi tidak memperoleh pekerjaan sesuai kompetensinya sebagai perawat. Ada yang harus antri bertahun-tahun karena memang jatahnya (formasi) belum ada. Inilah yang menjadikan mereka ambil peluang pekerjaan lain di luar profesi keperawatan.

Oleh sebab itu, guna mendongkrak harga jual, perlu difikirkan dari awal, agar tidak terkesan asal cetak. Kampus tidak seharusnya asal menerima mahasiswa baru tanpa proses seleksi yang tepat. Karena ini akan berpengaruh terhadap proses belajar mengajar. Kampus juga harus memiliki tenaga pengajar yang handal. Jangan asal dosen dan lulusan S2, tetapi bahasa Inggris saja belepotan. Kampus juga harus memiliki tempat praktik bagi mahasiswa yang memadai. Mayoritas kampus tidak punya RS sendiri. Akibatnya mahasiswa susah kalau mau praktik. Ini akan berakibat rendahnya kualitas keterampilan lulusannya, karena tidak memiliki lahan praktik yang memadai.

Era sekarang ini adalah era global. Kampus yang tidak memiliki visi misi global, akan tergilas oleh ketatnya kompetesi di dalam dan luar negeri. Kemampuan berbahasa Inggris mestinya sudah tidak perlu dibicarakan lagi. Bahasa Inggris bagi perawat adalah kebutuhan, bukan asesori institusi lagi. Perawat yang tidak mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris akan ditinggal oleh zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun