Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajah Ketegaran Aceh Pasca Tsunami di Tengah Corona

13 Mei 2020   16:06 Diperbarui: 13 Mei 2020   16:17 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh--picuki.com

Enam belas tahun silam, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, waktu itu saya berusia 10 tahun, Aceh mengalami musibah terbesar sepanjang sejarah. Rumah kami di Sigli, tidak jauh sebenarnya dari Pantai. Sekitar 3 jam perjalanan arah uatara Banda Aceh. Alhamdulillah waktu itu tidak terkena bencana Tsunami. Begitu hebatnya gelombang Tsunami, saya dengar cerita orang-orang yang ada di sekitar kami. Bahkan badan kesehatan sedunia (WHO) menyebutnya paling parah di Benua Asia dan Afrika. 

Dengan jumlah korban lebih lebih dari 230.000 nyawa tidak hanya di Aceh, namun juga negara-negara lain, seperti Srilanka, Somalia, India, Thailand, dunia berduka. Ratusan ribu rumah dan harta benda rusak hingga punah, binatang meninggal, ribuan orang yang menderita tidak tahu harus berbuat apa. Kecuali berharap iba kepada kita yang diberikan keberuntungan menikmati kehidupan. Bantuan datang dari seluruh penjuru dunia. Berbondong-bondong pasukan dengan aneka bendera antri masuk Aceh, mengangkat mayat, mengobati yang luka, memberi makan yang lapar, hingga membangun kembali rumah, agar mereka yang sedang berduka punya tempat bernaung untuk sementara.

Menurut saya ada empat keajaiban yang terjadi saat Tsunami melanda.

Pertama, Icon Aceh, Masjid Baiturrahman. Masjid kebanggaan orang Aceh ini tetap kokoh berdiri, walaupun ribuan rumah di sekitarnya hancur. Ribuan mayat kumpul ada di dalam dan di luar masjid, menunggu disemayamkan. Pasti ini bukan suatu kebetulan. Bukan pula karena hebatnya sang arsitektur berkebangsaan Belanda, Gerrits Bruins. Pembangunan masjid ini diadaptasi oleh L.P. Luijks dan yang mengawasi proyeknya orang China, Lie A Sie. Pada tahun 1612 pada mulanya disebut sebagai Masjid Raya sebelum bernama Baiturrahman. Tidak berlebihan jika orang Aceh dibuat bangga karenanya.

Keajaiban kedua, Masjid Rahmatullah. Masjid ini terletak di daerah Lhoknga, dekat Banda Aceh. Salah satu daerah yang paling parah dihantam oleh Tsunami. Masjid ini menjadi saksi, di tengah hancurnya ribuan rumah, bangunan perkantoran, hotel, toko, sekolah, dan lainnya, akibat dasyatya gelombang Tsunami. 

Namun masjid yang hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai ini menjadi satu-satunya saksi yang tersisa. Pasti, ini bukan sebuah kebetulan. Seorang jamaah bernama Syahrizal bin Razali, yang waktu itu berada di depan Masjid Rahmatullah menceritakan, bagaimana kepanikan warga kala itu. Mereka semua hanyut, bangunan musnah, rata dengan tanah. Syahrizal, sang Bendahara Masjid, dengan KuasaNya, selamat.

Keajaiban ketiga, nama Aceh sanggup menggoncangkan dunia, karena Tsunami ini menarik simpati jutaan orang guna membantu Aceh dan masyarakatnya untuk segera berbenah dan bangkit. Pasti tidak mudah. Dari bangunan infrastruktur, tempat-tempat layanan publik seperti pusat pelayanan kesehatan, supply makanan dan bahan pokok lainnya, pakaian, hingga sarana pendidikan. Belum lagi tekanan psikologis warga akibat kehilangan mereka yang terkasih. Bantuan dalam skala besar seperti ini, pasti tidak mudah mengelolanya kecuali ada sebuah keajaiban. Pasti, ini juga bukan sebuah kebetulan.

Keajaiban keempat, semangat rakyat Aceh untuk bangkit dan segera berbenah yang luar biasa. Secara psikologis orang Aceh butuh sekitar 5-10 tahun untuk pulih. Ini dibarengi dengan dibangunnya kembali sarana dan prasarana publik di Aceh. Pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus saat itu, dari periode 2004-2014, mencakup pembangunan rumah, khususnya di sekitar pantai dan fasilitas umum. Kebangkitan orang-orang Aceh dari musibah besar ini merupakan keajaiban. 

Dalam skala yang begitu besar, orang-orang Aceh tidak larut dalam duka panjang. Bersama-sama mereka yang membantu dengan tulus, masyarakat Tanah Rencong bangkit dan berbenah. Pasti ini juga bukan sebuah kebetulan. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya masyarakat Aceh harus membangun kembali 114 pusat layanan kesehatan, 3.000 km jalan yang rusak, 2000 bangunan sekolah, 14 pelabuhan, 120 jembatan arteri yang rusak, 1500 jebatan kecil,  dengan dana yang dibutuhkan sebesar Rp 41.4 Trilliun (Ardi Adji, BPS, 2011).    

Kini, memasuki tahun ke 16 pasca Tsunami, Aceh, bersama-sama dengan provinsi lain di Indonesia, secara nasional, kembali 'berduka' dengan hadirnya tamu tak diundang 'Covid-19'. Kalau saat Tsunami secara fisik Aceh mendapat ujian dan musibah besar, kali ini beda. Kali ini secara psikologis dan moral  juga ekonomi.

Akibat Corona ini orang-orang yang keluar masuk dari dan ke Aceh sangat terbatas. Dengan demikian mobilitas ekonomi terhambat. Akibatnya, sebagaimana yang diansir oleh Dcode EF Analysis dalam Potential Winners & Losers in The Short Term, ada delapan sektor yang mengalami ancaman keterpurukan finansial. Di antaranya wisata, pelabuhan udara dan laut, otomotif, konstruksi, pabrik dan industri, layanan Finansial, pendidikan dan minyak. Pada saat yang sama, terdapat juga potensial Winners, yang meliputi: industri alat-alat kesehatan, makanan, pusat layanan kesehatan, jasa internet, e-commerce, pertanian, serta minyak dan gas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun