Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Golden Time Before Iftar

4 Mei 2020   01:00 Diperbarui: 4 Mei 2020   01:02 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Quality Time (dok. pribadi) 

Kami empat orang bersaudara. Saya paling tua. Adik saya tiga, satu cowok dan dua cewek. Kami berasal dari kota kecil di Kabupaten Sigli, tiga jam arah utara Banda Aceh. Aceh yang sangat kental dengan sebuatan Serambi Mekkah. Rata-rata orang Aceh memang konservative. Tidak terkecuali keluarga kami yang tinggal di daerah.

Beberapa hari pertama di Jawa, saya agak kaget. Ternyata di Jawa ibu-ibu, emak-emak, cewek-cewek, 'lantang' suaranya. Hal ini agak sedikit beda dengan masyarakat Aceh di kalangan kaum Hawa. Volume suaranya agak pelan, utamanya yang di desa. Tidak terkecuali dalam lingkungan keluarga kami. Meski di rumah ada 6 orang semuanya (termasuk Bapak dan Mamak), kayaknya tidak terlalu 'ramai'. "Rumahmu sepi Ridha...." kata orang Jawa yang pernah bertamu ke rumah kami. Begitulah. Kebiasaan terbentuk menjadi budaya dalam keluarga.

Sedari kecil Mamak yang berprofesi sebagai Guru, biasa memberi kami dengan berbagai tugas yang berbeda. Termasuk saat Ramadan tiba. Bedanya, ketika kami sudah mulai beranjak remaja, tugas kami tidak hanya di dalam, tetapi juga secara bergilir keluar rumah. Namun satu per satu dari kami, sekolah di Pondok Pesantren di luar kota, Banda Aceh. Dari sanalah kami mulai sedikit mengenal budaya masyarakat kota. Maklumlah, kehidupan di desa kami di Sigli tidak begitu majemuk. Artinya, jarang pendatang dari luar Aceh yang mukim di lingkungan desa kami. Sedangkan di Banda Aceh lebih 'plural' masyarakatnya. Bahkan ada kampung yang didominasi orang Cina dan Arab.

Saya masih ingat bagaimana kebiasaan menghabiskan waktu selama 30-60 menit menjelang berbuka puasa. Masa kecil kami tinggal di perumahan guru, dekat sekolah, tidak pula jauh dari pasar. Biasanya Mamak membagi tugas. Ada yang siram-siram halaman dan bunga, ada yang membantu masak, ada yang disuruh ke rumah Nenek karena pasti ada saja keperluan di sana, dan ada pula yang diminta ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan berbuka. Waktu satu jam tidak lama. Sementara kami masih usia anak-anak, lebih suka bermain dan pada fokus pada pekerjaan. Mampir sana, mampir sini, kadang membuat Mamak uring-uringan, karena terlambat. Proses masak-memasak berpacu dengan waktu menjelang Adzan Maghrib. Pernah saya sempatkan diri sambil bermain sebentar dan dimarahi oleh Bapak. Takut juga.

Ramadan berarti puasa. Ironinya Mamak dan kami semua anak-anaknya malah lebih sibuk saat Ramadan dibanding hari-hari biasa, untuk urusan makanan. Khususnya antara 30-60 menit sebelum berbuka, karena makanan harus sudah siap. Saya kadang diminta Mamak untuk ngantar makanan ke rumah Nenek atau Cece. Padahal jarum jam sudah menunjukkan lima belas menit menjelang berbuka. Kami anak-anak berempat bergegas, mandi, ganti pakaian hingga siap-siap ke Surau sesudah makan makanan pembuka (Takjil). Setelah itu membaca Kitab Suci Al-Quran adalah bagian dari rutinitas, sambil menunggu detik-detik terakhir menjelang Adzan Maghrib. Subhanallah. Inilah kenangan terindah yang saya rindukan ketika sudah pisah dengan orangtua.

Kini, setahun sudah saya tinggal di Tanah Rantau orang.
   
Dua kali saya menikmati suasana Ramadan di Jawa. Dua kali itu pula saya menyaksikan lebih dekat bagaimana orang-orang di sekitar saya di Singosari-Malang, menghabiskan waktu sesaat sebelum berbuka puasa (Ngabuburit). Bedanya memang banyak.

Di antaranya adalah di Malang masyarakanya lebih majemuk. Ada banyak pilihan kegiatan yang bisa dilakukan. Terlebih tahun lalu saat beum ada kasus Covid-19 seperti sekarang ini. 

Di Alun-Alun Malang misalnya, adalah pusat kota di mana banyak orang bisa menghabiskan waktu sambil nunggu Adzan Maghrib sesuai selera. Perorangan, kelompok atau bersama keluarga. 

Mulai dari sekedar duduk manis di beberapa sudut taman, membentangkan tikar sambil membaca Al Quran, ada yang menyiapkan aneka makanan, ada pula yang membeli makanan pada pedagang makanan di area Alun-Alun, hingga ngobrol untuk kepentingan bisnis. Indahnya, area ini letaknya persis di depan Masjid Jamik Malang yang indah.  

Tentang bagaimana ide mengisi waktu Ngabuburit, hemat saya sangat relatif. Orang-per-orang berbeda, karena minat dan kesukaan orang tidak sama. Apa yang menjadi kesukaan saya boleh jadi justru biasa-biasa saja bagi lainnya. Sebaliknya, apa yang menjadi favorit orang lain, sangat bisa saja tidak nyaman bagi saya. 

Hanya saja tidak ada salahnya memiliki ide universal. Misalnya, yang pertama, sebaiknya tidak baik tidur sesudah Salat Asar. Karena tidur sesudah Asar membuat nanti makin malam tidurnya. Bisa bangun terlambat saat Makan Sahur. Kedua, melakukan sedikit aktivitas itu sangat bagus, semacam olah raga ringan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun