Mohon tunggu...
Rida Fitria
Rida Fitria Mohon Tunggu... Freelancer - An author of several books; Sebongkah Tanah Retak, Bunga dan Duri, Paradesha, Jharan Kencak, dll.

Ketika kita berkata, "Selamatkan bumi!" Sejatinya kita sedang menyelamatkan diri sendiri dan anak cucu dari bencana dan kepunahan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama featured

Jangan Menangis, Nak, Kita Tanam Lagi Pohon Baru

29 Juni 2015   13:13 Diperbarui: 27 November 2020   10:56 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tapi kan lama, untuk mendapatkan pohon sebesar itu...." Kerongkonganku tercekat. Raungan puteriku tak mau berhenti. Air mata terus saja mengalir, di pipiku.

Pohon-pohon itu tumbuh bersama anak-anakku dan kami semua para relawan konservasi di gunung Lemongan. Waktu, tenaga, dan biaya-biaya...sudah tak terhitung lagi. Dan semuanya swadaya, murni, dan independen.

Tahun-tahun yang sangat panjang dan kerap sedemikian menguras energi. Tapi kami tidak berhenti, apalagi menyerah. Hanya ingin Tuhan saja yang menilai amal jariyah ini. Puteriku--sepuluh tahun--masih tersedu, aku memeluknya, tak mampu lagi menghibur dengan kata-kata menguatkan.

Seorang kawan dari Bandung yang sengaja mengunjungi kami untuk berlibur, menepuk-nepuk bahuku. "Sabar ya, Mbak." dukungnya sambil menyeka air mata.

Belasan buruh tebang sudah tidak tampak lagi di lahan konservasi, butuh waktu bagi suamiku untuk meminta mereka pergi. Orang-orang kelas sandal jepit itu hanya mencari makan, hal ini sangat kami pahami.

Yang keparat adalah pihak yang merasa berkuasa. Mereka tidak terlihat dimanapun...seperti biasa. Puteriku masih terisak, anak sepuluh tahun itu sedemikian berduka. Ia bahkan menolak minum saat kusodorkan sebotol air yang kami bawa dari rumah.

Kami kepanasan duduk di atas sepotong kayu sisa-sisa gergajian, di tengah area yang dulunya teduh. Aku menatap sekeliling yang kerontang, dengan udara berdebu. Sama sekali berbeda dengan waktu-waktu sebelum penebangan oleh Perhutani dilakukan secara membabi buta.

Aku ingat sejak pertengahan puasa Ramadhan 2013, suamiku sudah berusaha mendatangi pihak-pihak yang terlibat dalam penebangan pohon di petak 19 C--di mana dahulu terdapat kesepakatan untuk bersama-sama melindungi wilayah tersebut--supaya tidak melanjutkan penebangan.

Faktanya, mereka semakin merangsek ke lahan konservasi hingga peristiwa puncak--ambang batas kesabaran para relawan konservasi--pada tanggal 2 Oktober 2013 lalu.

Sepanjang siang itu kami melakukan segala upaya, seperti menghubungi awak media dan mengontak seluruh relawan supaya berkumpul di posko. Malam itu kami menginap di gunung. Menjaga pohon-pohon kami, bersiaga penuh atas segala kemungkinan.

Dua tahun kemudian

Inilah sepenggal peristiwa yang terjadi dua tahun lalu. Selepas aksi demonstrasi ke kantor Perhutani, menyerukan protes dan keberatan-keberatan kami atas tindakan mereka.

Para relawan konservasi kembali ke gunung, bekerja lagi melakukan penghijauan seperti sebelum-belumnya. Sedih pasti melihat lingkungan yang tadinya hijau seketika meranggas.

Namun apalah gunanya berlama-lama dalam sesal dan kesal. Pohon tak akan tumbuh sendiri jika tidak ditanam. Alam yang rusak tidak akan pulih dengan sendirinya jika manusia tidak turun tangan memperbaiki. Maka, bersegeralah kami menanam sambil terus merawat yang tersisa.

Dua tahun berlalu, bibit-bibit pohon bertumbuh dengan baik. Yang selamat dari penebangan dan pembakaran, seperti pohon buah, mulai bergiliran memberi kami hadiah yang menyegarkan. Ada jeruk, jambu, alpukat, apel, pepaya, pisang, nangka, mangga, dan lain-lain.

Sementara bambu petung hitam, tumbuh semakin tinggi dan gagah dengan gerumbul tunas-tunas mudanya. Sungguh menyenangkan menyaksikan semua keindahan itu.

Setiap peristiwa, ada hikmahnya. Selepas kekacauan penebangan dan pembakaran hutan, ada sekelompok warga pinggir hutan dan lereng gunung (tadinya menolak konservasi karena salah informasi yg sengaja disebarkan orang-orang tak bertanggung jawab) bergabung membantu penghijauan.

Di sela-sela itu, kunjungan para pelajar, mahasiswa, dan aktivis-aktivis peduli lingkungan, mewarnai kerja-kerja sehari-hari. Mereka ikut menanam, merawat, dan berbaur dengan masyarakat lokal dalam banyak kegiatan. 

Ya, dua tahun telah berlalu. Sekarang masalah baru muncul, terkait rencana sebuah perusahaan asal Turki menambang panas bumi di gunung Lemongan. Warga resah dan mulai melakukan perlawanan.

Penolakan warga bukan asal menolak saja, mereka telah belajar dari bencana Dieng, Mataloko, hingga Sibayak. Atau bagaimana, belum apa-apa sumur bor untuk menambang panas bumi di Tapanuli, meledak. Dan banyak lagi tempat-tempat lain di Indonesia yang mengalami dampak negatif akibat penambangan panas bumi ini. 

Salam Hirau, Hidup, Hijau!

Note : Kebun buah hasil konservasi LH di gn. Lemongan. Tampak relawan LH di jalan setapak menuju posko konservasi. (foto: dok. pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun