Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menemukan Gerson Poyk Lagi

5 Januari 2022   18:18 Diperbarui: 5 Januari 2022   18:23 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah lama saya kagum pada sosok sastrawan Gerson Poyk. Sewaktu di sekolah menengah atas, saya pernah membaca noveletnya berjudul 'Seribu Malam Sunyi'. Ini bisa jadi tulisan pertama Gerson yang pernah saya baca. Tentu saja, kala itu saya langsung terpukau dengan cara Gerson menulis; apa adanya. 

Sependek pengetahuan saya, Seribu Malam Sunyi, berisi cerita kenangannya selama masa kecil yang dia habiskan di beberapa kota di NTT. Di Bajawa, Ruteng, Ende, dan Maumere. Dari buku ini pula, saya sadar, Gerson adalah seorang pencerita yang pandai. 

Beberapa tahun kemudian, saya tak akrab lagi dengan tulisan-tulisannya karena rupa-rupa kesibukan. Perhatian saya pula tertuju pada buku-buku sastra dan non sastra yang berseliweran menarik perhatian. Buku-buku dari penulis-penulis dunia berjejer di rak buku, di antaranya seperti George Orwell, Leo Tolstoy, Anton Chekov, Marcus Aurelius dan masih banyak lagi. Setidaknya, para penulis ini wajib dibaca sebelum saya mati.

Di akhir tahun 2021 kemarin, saya pergi ke perpustakaan Taman Daun, semacam taman baca yang ada di Lembata. Sebagai taman baca, Taman Daun termasuk cukup tua di NTT. Di antara rak-rak buku, perhatian saya kemudian tertuju pada sampul buku berwarna cokelat, tertulis, Matias Akankari, Gerson Poyk. Buku kumpulan cerpen ini kemudian mengembalikan kenangan saya pada Seribu Malam Sunyi yang sudah saya lahap hampir satu dekade silam. Cerpen pertama dari buku Matias Akankari yang berjudul 'Reuni' yang tak pelak lagi membuat saya terpukau untuk kedua kalinya. Nama Gerson Poyk kemudian masuk dalam daftar pengarang yang harus saya baca sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.

Orang-orang NTT patut berbangga memiliki seorang Gerson Poyk. Ia seorang sastrawan jenius, jurnalis andal, seorang guru yang rendah hati dan seorang budayawan yang humanis. Sudah banyak sekali buku novel, prosa, cerpen, puisi dan tulisan-tulisan yang ia hasilkan di sepanjang perjalanan hidupnya. Beberapa yang saya bisa ingat: Cumbuan Sabana (1979), Sang Guru (1972), Matias Akankari (1972), Giring-Giring (1982), Petualangan Dino (Novel anak-anak, 1979), Poti Wolo (1988), Jerat (cerpen, 1978) dan masih banyak lagi buku dan kumpulan-kumpulan tulisannya. Novelnya Sang Guru, adalah salah satu dari tiga novel Indonesia yang memenangkan SEA Write Award.

Sastrawan kelahiran Pulau Rote, 16 Juni 1931 ini juga banyak menulis tentang pengalaman masa kecil yang banyak ia habiskan di beberapa tempat di Flores, Sumba dan Timor. Ayahnya, Johanes Laurens Poyk, adalah seorang mantri Belanda saat Gerson dilahirkan. Sebagai mantri ayahnya beberapa kali pindah tugas; di Pulau Semau, di Langgaliru di Sumba dan di Bajawa, tempat ia memulai pendidikan formalnya di HIS. Gerson menamatkan sekolah dasarnya di Ruteng tahun 1945. Di kota dingin Bajawa dan Ruteng, Gerson memiliki banyak kenangan yang membekas baik. Banyak karyanya juga turut mengambil latar tempat, sosial dan budaya yang ada di Flores.

Dari Ruteng, keluarga Gerson sempat berpindah-pindah kota, ke Maumere, Ende, Soe, Kupang sebelum akhirnya ia pindah ke Surabaya dan menjadi guru di Ternate. Sewaktu Di Ende, Gerson sempat masuk sekolah Protestan saat ayahnya bekerja sebagai seorang pengacara amatiran. Oleh karena himpitan ekonomi, Gerson dan ibunya, Yuliana Manu, sempat kembali ke Rote dan tinggallah ayahnya sendiri di Flores bekerja sebagai pengacara amatiran. Beberapa waktu kemudian setelah tinggal berpindah-pindah di rumah kerabat ibunya, Gerson akhirnya bertemu dengan ayahnya lagi di Rote. Mereka kemudian pindah ke Kupang setelah ayahnya mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan Amerika di sana dan kemudian pindah lagi ke Ruteng dimana ayahnya sempat mendekam di penjara karena dituduh menggelapkan uang perusahaan seratus gulden. Situasi ini membuat ibunya harus membawa anak-anaknya ke rumah-rumah sahabat kenalan yang ada di sana demi bertahan hidup.

Sekali lagi, di Ruteng, Gerson, bisa dikatakan, menghabiskan masa-masa kecilnya yang penuh tragedi dan komik. Dan di kota inilah ia menyadari secara tidak sengaja bakat sastranya yang luar biasa. Adalah seorang guru kelas limanya yang bernama Tuan Sintus de Rodriques, seorang Larantuka yang pertama kali melihat potensi besar Gerson Poyk sebagai seorang sastrawan. Tentang pengalamannya yang tak terlupakan itu, ia mengenang,

"Selain senang pada pelajaran berhitung terutama hitung-hitungan yang hanya memakai angka, tanpa kata-kata, untuk pertama kali aku mendapat 'hadiah sastra'. Aku membuat sebuah esei di sebuah batu tulis. Ia membacanya. Tiba-tiba ia menyuruh kami diam dan ia membaca eseiku di depan kelas. Rasanya dialah, guru Sintus itulah yang mengantarkan aku menjadi seorang sastrawan Indonesia. Aku selalu mengingatnya sehingga berita kematiannya di Jakarta karena sakit, sangat menyedihkan aku karena aku sangat ingin sekali bertemu dengannya untuk memberitahukan bahwa aku telah menjadi seorang sastrawan di negeri ini."

Gerson benar, ia telah menjadi seorang sastrawan di negeri ini. Lebih dari yang ia sendiri bayangkan, lebih dari yang ia sendiri impikan, tulisan-tulisannya abadi. Ia telah berhasil menulis seperti ia sendiri berbicara. Bahasanya lugas, mudah dicerna dan menghibur. Dalam bukunya Nostalgia Flobamora, ia menyuguhkan secara menarik kisah-kisah masa kecilnya yang penuh canda di tengah kerasnya bertahan hidup sebagai anak Rote diaspora. Hidup dari keluarga yang sering berpindah-pindah membuat khazanah berpikir Gerson semakin luas dan beragam. Hampir semua tulisannya berakar kuat pada kondisi sosial dan budaya Flobamora sebagaimana yang dialaminya sendiri dan terekam baik dalam ingatan masa tuanya. Ia tidak malu menceritakan kenakalan dan kekonyolan hidup masa kanak-kanaknya.Hidupnya sendiri telah menjadi sebuah cerita yang apik.

Membaca tulisan Gerson sama dengan membaca NTT dengan segala macam konteks sosial dan politiknya saat itu. Ciri khas lokalitas mantan jurnalis Sinar Harapan ini tidak berhenti dalam tulisan-tulisannya. Bahkan pada saat ia menerima Southeast Asian Write Award di Bangkok pada 1989, ia mengenakan pakaian adat Rote lengkap dengan Ti'ilangga. Sebagai seorang pemenang dari Indonesia, ia ingin menunjukkan kepada dunia kalau dia orang Rote, orang NTT. Dalam kesehariannya pun, penulis yang juga pernah mengikuti International Creative Writing Program di Universitas Iowa, USA ini juga selalu bersemangat bila bercerita tentang tanah Flobamora tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun